Kita Masih Membutuhkan Huruf Sambung

      Di era digital, anak-anak fasih menggunakan gadget. Namun, sejumlah siswa di Amerika Serikat ternyata suka menulis huruf sambung, seni yang kini dianggap ketinggalan zaman.
     Bagi murid kelas tiga SD di Trialdelphia Ridge Elementary School, belajar menulis huruf sambung adalah hal yang menyenangkan. "Saya suka menulis sambung," ujar Oren Dubensky setelah ia dan teman-teman sekelasnya berlatih selama enam minggu dengan pensil.
     Orang dewasa di AS sendiri masih berdebat apakah anak-anak perlu belajar menulis huruf sambung di era teknologi canggih seperti sekarang.
     Common Core, kurikulum standar TK sampai SMA yang diterapkan oleh 45 dari 50 negara bagian di AS, tidak mewajibkan pelajaran menulis huruf sambung, hanya huruf balok.   
     "Disini hanya sedikit orang yang menulis dengan huruf sambung," ujar Morgan Polikoff, assistant professor kebijakan pendidikan di University of Southern California, yang melihat "tak ada alasan darurat" untuk memasukkan pelajaran huruf sambung didalam kurikulum.
     "Kini semua orang mengetik dan mengirim SMS. Huruf sambung dianggap sebagai seni yang hilang," ungkap Bernadette Lucas, kepala sekolah Melrose Avenue Elementary School di Los Angeles, dimana dewan sekolah menghabiskan 30 juta dollar AS (Rp 339,6 miliar!) untuk menyediakan Apple iPad bagi murid-murid mereka.
     Sebagian lain khawatir bahwa Amerika membesarkan generasi yang, untuk pertama kali dalam sejarah, tidak bisa membubuhkan tanda tangan di cek atau membaca dokumen sejarah.
     "Ini tidak boleh terjadi. Kita masih membutuhkan huruf sambung," tegas legislator di North Carolina, Pat Hurley, pendukung utama dari undang-undang pendidikan yang mewajibkan pelajaran menulis huruf sambung di negara bagian wilayah selatan.
     Riset Laura Dinehart dari Florida International University menegaskan hal itu: anak usia empat tahun dengan kemampuan menulis tangan yang baik lebih berpotensi untuk unggul dalam matematika dan membaca ketika SD.


Komentar