Jangan remehkan kekuatan dari kebiasaan kita, karena kebiasaan membentuk 40 persen dari seluruh aktivitas kita. Menurut pakar, kebiasaan seseorang tidak hanya membentuk dirinya, tetapi juga menentukan kesuksesannya. Bagaimana kiat meninggalkan kebiasaan buruk dan membangun kebiasaan baik?
Ingin tahu kebiasaan apa saja yang Anda "pelihara" selama ini?
Cobalah ambil selembar kertas, kemudian tuliskan secara rinci kebiasaan sehari-hari yang Anda lakukan, mulai dari bangun pagi hingga tidur malam. Anda akan melihat pola kebiasaan Anda seperti apa. Dan dari sana, akan tercermin jati diri Anda yang sesungguhnya.
Peter Gunawan Suryanegara, S.E., konsultan SDM dan Direktur PT Mitra Guna Solusi, menegaskan bahwa pada dasarnya manusia memang makhluk kebiasaan.
"Kebiasaan kita membentuk siapakah kita. Semua yang kita lakukan, sejak bangun tidur hingga kembali tidur, tanpa sadar dilakukan secara otomatis, dan itulah yang membentuk kita. Bahkan, sukses atau gagalnya kita tergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang kita bangun dalam keseharian", jelas Peter.
Menurut Peter, sejumlah penelitian telah mengungkap bahwa orang yang sukses pada dasarnya mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan oleh orang-orang yang gagal.
Contoh, kebiasaan yang dimilki orang gagal adalah suka menunda-nunda pekerjaan, tidak disiplin, dan tidak berani mencoba. Sebaliknya, orang yang sukses punya kebiasaan yang bertolak belakang, yakni tidak suka menunda pekerjaan, disiplin, berani mencoba, dan bangkit lagi setiap kali jatuh.
Dalam ilmu psikologi, kebiasaan dikenal sebagai conditional response atau respons yang terkondisi, yakni perilaku yang diulang-ulang kembali dalam setting situasi tertentu.
Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, teori yang terkait hal ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov dari Rusia, yang melatih anjingnya untuk mengeluarkan liur hanya dengan mendengar bunyi bel. Ini terjadi karena Pavlov membiasakan membunyikan bel setiap ia hendak memberi makan.
"Teori ini lantas dikembangkan di Amerika oleh J.B. Watson dan B.F. Skinner, yang kemudian menjadi dasar bagi hampir semua teori psikologi yang berkembang di Amerika, yaitu bahwa semua perilaku manusia pada dasarnya adalah hasil pembiasaan, " jelas Prof. Sarlito.
Namun, menurut Prof. Sarlito, aliran-aliran psikologi yang berkembang di Eropa tidak sepenuhnya menerima teori pembiasaan ini, karena menurut mereka ada banyak faktor lain yang membentuk kebiasaan seseorang.
Salah satu faktor tersebut adalah alam ketidaksadaran pada jiwa nanusia seperti digagas ahli psikoanalisis Sigmund Freud, sehingga manusia bisa melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Misalnya, kebiasaan seseorang mencuci tangan berkali-kali, itu dibentuk dari perasaan bersalah yang terkubur dalam alam ketidaksadaran.
Bicara kebiasaan, lanjut Prof. Sarlito, ada pula yang disebut "comfort zone" atau wilayah kebiasaan yang sudah dirasakan nyaman sehingga orang merasa enggan untuk meninggalkannya dan menggantinya dengan kebiasaan baru.
Untuk membentuk sebuah kebiasaan dibutuhkan tiga hal, yaitu pengetahuan, kemauan, dan keterampilan.
Pengetahuan dibutuhkan agar kita tahu apa saja jenis kebiasaan baik yang dibutuhkan. Kita harus tahu kebiasaan apa saja yang harus diubah dan mengapa kita perlu kebiasaan baik itu. Selanjutnya, kemauan dibutuhkan karena melakukan kebiasaan baik perlu kemauan yang kuat. Nah, dari pengetahuan dan kemauan, akan terbentuk keterampilan untuk bisa melakukan kebiasaan baik dengan benar, efektif, dan efisien.
Peter menggarisbawahi bahwa dari ketiga faktor ini, aspek yang paling berat adalah kemauan. "Banyak orang yang tahu bahwa dia harus mengubah kebiasaan buruknya, tapi dia tidak mampu karena kemauannya kurang kuat, " ujar Peter.
Contohnya adalah kebiasaan merokok. Seseorang mungkin sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran bahwa rokok merusak tubuh, tetapi karena kemauannya kurang kuat, maka saat baru berhenti 1-2 hari dan berkumpul lagi dengan para perokok, ia tergoda lagi.
Begitu pula dengan kebiasaan menyantap pola makan yang tidak sehat, seperti makanan berlemak dan junk food. Seseorang yang sudah tahu bahwa kebiasaan itu buruk dan berpikir mau makan sehat, jika kemauannya tidak kuat maka akan mudah tergoda makan tidak sehat lagi saat diajak teman atau melihat iklan di TV yang bertubi-tubi dan sangat menarik.
Jelas bahwa untuk mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik dibutuhkan niat atau tekad yang kuat.
Selain kemauan, menurut Peter, kondisi lingkungan besar sekali pengaruhnya dalam membentuk kebiasaan seseorang. Seorang pencandu narkoba yang sudah menjalani rehabilitasi, jika ia kembali ke komunitas lamanya, maka hampir pasti dia akan menjadi pencandu lagi. "Dalam kebiasaan, diyakini bahwa pengaruh lingkungan adalah sebesar 80 persen, sedangkan sisanya adalah genetika, " kata Peter.
Ia lantas memberikan tips bagi kita yang ingin mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik. Pertama-tama, kita harus mengaitkan perubahan kebiasaan tersebut dengan sesuatu yang lebih mulia. Misalnya, kembali pada contoh perokok, ia bisa memikirkan bahwa ia tidak ingin isteri dan anak-anak jadi perokok pasif yang bisa memicu penyakit, karena itu ia bertekad kuat untuk berhenti merokok.
Selain itu, perubahan lingkungan sangatlah penting. Mulailah berpindah lingkungan dari yang buruk ke yang jauh lebih sehat, sesuai dengan kebiasaan yang akan dibangun. Terakhir, namun tidak kalah penting, adalah cari orang yang kita hormati untuk membantu kita keluar dari kebiasaan buruk tersebut.
Memang, selalu ada kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam kebiasaan buruk. Karena itu, dibutuhkan kemauan yang kuat untuk meredam besarnya risiko kembali pada kebiasaan sebelumnya.
"Kemauan kuat ditambah lingkungan yang tepat akan lebih dahsyat. Apalagi, dalam satu tahun pertama, godaan untuk kembali pada kebiasaan lama masih kuat, " tegas Peter. "Karena itu, dukungan dari orang-orang terdekat serta visi ke depan yang lebih mulia akan sangat membantu."
Komentar