Kabarnya, kini ada empat kebutuhan dasar manusia modern: primer, sekunder, tersier, dan pamer. Benarkah demikian?
Perhatikan deretan postingan di media sosial hari ini. Berapa banyak teman atau kerabat yang memuat foto, cerita, ataupun peristiwa yang menunjukkan bahwa mereka sedang memamerkan berbagai hal, seperti kecantikan, kepandaian, kesuksesan, atau kemesraan hubungan dengan pasangan?
Dengan kemajuan teknologi dan keberadaan media sosial, hasrat untuk pamer mendapatkan medium baru. Jika dulu kita harus pergi ke tempat publik atau masuk TV untuk berpamer ria, kini kita bisa melakukannya dari rumah sendiri. Sesekali mungkin masih oke, tapi jika semakin sering dan berlebihan?
Menurut Dhanny S. Sutopo, M.Si., staf pengajar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya, sebenarnya ada batasan jelas antara memberikan informasi kepada publik dan pamer.
"Jika ia menunjukkan dirinya dan juga situasi dimana ia hadir agar diketahui orang lain, maka kecenderungannya adalah pamer. Tetapi kalau ia menunjukkan sesuatu dimana dirinya tidak perlu hadir dan untuk kepentingan orang lain, kecenderungannya adalah memberikan informasi," papar Dhanny.
Sayangnya, sering kali orang terlena dengan permainan tanda, khususnya di dunia maya, antara apa yang dilakukan itu sebagai makna pamer atau makna informatif.
"Dalam hal ini, pamer adalah hasrat menunjukkan pada publik bahwa dirinya adalah orang pertama yang tahu atau bahkan ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang mampu. Tidak hanya objek seperti makanan atau barang, tapi juga kejadian atau peristiwa," ujar Dhanny.
Senada dengan Dhanny, DR. Endang Mariani, M.Si, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,menjelaskan bahwa perlu dilihat lagi dari sudut pandang individu yang memamerkan apa yang dia miliki: Apakah orang tersebut dengan sadar dan sengaja pamer atau dia tidak sadar memperlihatkan sesuatu yang dimilikinya?
Informasi ini perlu dimiliki, sebelum kita bisa memastikan apakah yang dilakukan termasuk kategori pamer atau bukan. Mungkin saja orang tersebut tidak berniat pamer, tapi dinilai oleh orang lain sebagai pamer.
Contoh, ketika berdandan ke salon dan akan pergi ke pesta. Sadar atau tidak, ketika kita sedang berada di kerumunan orang, kita telah pamer kecantikan. Atau, mengunggah sesuatu di media sosial tentang keindahan alam atau keunikan budaya tempat kita liburan adalah hal yang tak terhindarkan ketika kita mendapat kesempatan untuk mengunjungi tempat baru.
Karena itu, Endang menegaskan bahwa poin terpenting adalah niat, intensi, motivasi dan tujuannya. Sudut pandang masyarakat atau lingkungan kelompok yang melihat dan kemudian memberikan penilaian berperan dalam menentukan apakah sebuah perilaku yang dilakukan individu termasuk pamer atau tidak.
"Kadang, bila masyarakat tidak peduli atau tidak menilai bahwa itu termasuk perilaku pamer, maka meskipun seseorang bermaksud pamer, tapi ia tidak dikategorikan pamer oleh masyarakat atau lingkungan yang dituju dan perilakunya mungkin dianggap biasa-biasa saja," ujar Endang.
Jika hanya mengunggah teks atau gambar tentang jenis makanan dari sebuah kafe plus harga dan tempatnya, maka kecenderungannya adalah memberikan informasi. Tetapi, kalau yang diunggah tidak hanya makanan namun sekalian dirinya yang hadir bersama makanan tersebut - apalagi kalau harganya relatif mahal - maka hal ini bisa dikatakan masuk kategori pamer.
Pamer kadang dipadankan dengan konsep narsistik, terutama bila motifnya adalah ingin dirinya terlihat hebat di mata orang lain. Pamer juga bisa dikatakan muncul karena adanya rasa kurang percaya diri. Dalam hal ini, pamer justru digunakan untuk menutupi kelemahan diri.
Secara psikologis, konsep pamer sebenarnya cukup kompleks. Bahkan ada pula beberapa masyarakat yang justru membudayakan pamer sebagai sebuah perilaku kelompok yang tidak negatif bahkan keharusan. Salah satunya terkait dengan status sosial dan ekonomi.
"Pamer dapat didefinisikan sebagai sebuah perilaku individu atau bisa juga perilaku kelompok untuk memperlihatkan tentang sesuatu yang dimiliki maupun yang tidak dimiliki tapi 'seolah' merupakan miliknya, dengan tujuan agar orang lain tahu dan memberikan respons," jelas Endang.
Endang menilai ada banyak motivasi yang dapat melatarbelakangi perilaku pamer, baik bersifat positif maupun negatif. Diantaranya adalah untuk "menjual" potensi diri, memberi contoh, riya, ingin mendapat pujian atau dianggap hebat, atau secara sengaja ingin membuat iri. Motivasi pamer paling umum adalah untuk mendapatkan perhatian.
Meski begitu, ada juga individu yang pamer hanya untuk kepuasan diri sendiri, meningkatkan penilaian dan keyakinan terhadap diri sendiri, meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri, seperti citra diri ataupun harga diri, tanpa peduli dengan pendapat orang lain - meskipun jika pamer berkonotasi negatif, bisa jadi harga diri seseorang di mata orang lain menjadi lebih rendah.
Terkait hal ini, Dhanny menilai dunia maya mendorong orang untuk tampil sebagaimana yang diinginkannya, bukan sebagaimana kenyataannya. Tujuannya untuk eksistensi diri, identitas dan membangun citra.
"Dengan mengunggah diri, situasi diri yang dialaminya sedemikian rupa berlebihannya. Pada akhirnya, orang tersebut 'ingin menjadi dan ingin dilihat seperti' citra dirinya - bukan lagi kenyataannya " tukas Dhanny.
Pencitraan berlebihan ini menjadikan identitas dirinya semu. Hal ini bisa jadi justru semakin menjauhkan rasa kepercayaan dari orang lain, meskipun dalam dunia maya bisa saja tidak berlaku sama bahkan sebaliknya.
Bagaimana dengan orang yang bersikap sebaliknya, yakni menyimpan informasi atau foto tentang dirinya dan tidak memamerkan? Menurut Dhanny, umumnya orang tersebut memiliki kerendahan hati atau memang memilih untuk tidak eksis di dunia maya, karena baginya dunia nyata jauh lebih penting.
Individu seperti ini rela untuk tidak "dianggap ada" dalam kehidupan sosialnya. Selalu ada orang yang berupaya membangun kesadaran dirinya, berhati-hati dalam menghadirkan dirinya. Meskipun "jebakan-jebakan" tanda dalam dunia maya rasanya sulit sekali dihindari.
"Hasrat selalu ingin hadir dalam ruang-ruang sosial, justru menjadikan kita 'tersingkir' karena pencitraan diri yang berlebihan," Dhanny mengingatkan.
"Saat seseorang merasa bahwa apa yang dimilikinya sudah cukup dan yang bersangkutan tidak perlu lagi penilaian orang lain terhadap dirinya, saat itulah ia memutuskan untuk pamer" Endang menegaskan.
Pengaruhnya terhadap image diri, menurut Endang, bisa positif dan bisa pula negatif, bahkan bisa tidak ada pengaruhnya sama sekali, minimal yang terungkap di permukaan. Ini karena penilaian terhadap perilaku seseorang kadang terwujud, namun kadang pula hanya menjadi catatan dalam hati.
Sikap pamer akan menjadi negatif saat sesuatu yang dipamerkan dapat membuat iri, kecemburuan dan bahkan menimbulkan kebencian dari pihak orang lain. "Akibatnya, respons balik yang didapat adalah cibiran, ejekan, kebencian bahkan hujatan," tandas Endang.
Sebaliknya, pamer juga bisa positif. Perilaku pamer bisa memiliki dampak yang baik saat sesuatu yang dipamerkan dapat "menjual" dan menaikkan nilai seseorang. Contohnya, ketika pamer kualifikasi kita dalam portofolio yang dipublikasikan di dunia maya, mungkin ada headhunter yang kemudian menawari kita sebuah tanggung jawab baru dan posisi yang lebih baik.
Pamer juga bisa berdampak positif saat yang dipamerkan dapat menginspirasi orang lain. Ini terjadi saat hal yang dipamerkan dianggap baik oleh orang lain dan dapat mendorong orang lain tersebut untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik.
Komentar