Manusia memang tak pernah puas akan keadaan dirinya, selalu mengira dirinya yang paling sengsara, paling menderita dan paling kurang beruntung. Pengalamanku bertemu dengan seorang pengamen cilik, telah menyadarkan aku untuk bersyukur karena Tuhan telah memberikan begitu banyak karunia-Nya padaku. Masih banyak orang yang jauh kurang beruntung dibandingkan aku. Seperti pepatah, 'Di Atas Langit Masih Ada Langit'.
Kisah ini berawal dari persimpangan lampu merah. Banyak anak kecil yang sedang mengamen. Pemandangan yang sudah biasa terlihat di setiap persimpangan jalan. Mereka menyanyikan lagu jenis apa saja, ada yang terdengar sumbang, ada yang asal menyanyi, namun ada juga yang lumayan merdu dan sungguh-sungguh. Semuanya bermuara dari satu harapan yaitu mengharapkan belas kasihan penumpang untuk memberikan sedikit uang. Jika beruntung, maka akan mengalirlah logam-logam rupiah ke kantong plastik mereka. Namun, bila penumpang tidak memberikan rupiahnya, si pengamen berpasrah diri menunggu kesempatan lain.
Suatu hari saat aku pulang dari belanja di sebuah mall di kotaku, ada seorang anak kecil mengamen di mobil angkot yang kunaiki. Dia duduk di pintu mobil angkot dengan membawa sebuah botol air mineral yang berisi tutup-tutup botol. Botol itu dijadikan alat musik. Anak yang kira-kira berusia enam tahun itu menyanyi dengan asal-asalan. Dua lagu dibawakannya, namun semua penumpang tidak mengerti syair apa yang dinyanyikan anak itu. Dan entah mengapa, tidak satu pun penumpang memberikan uang, termasuk aku.
Sampai di tujuan, aku pun turun dengan membawa barang-barang belanjaan yang lumayan berat. Anak kecil itu pun turun. Dia memandangku.
"Kak, boleh saya bantu membawa belanjaan kakak?" tanya anak itu.
"Ah nggak usah, terimakasih dik!" ucapku.
Terus terang, aku tidak percaya padanya, karena sekarang ini banyak terjadi penipuan, apalagi aku tidak mengenalnya.
"Kak, percayalah, saya tidak akan berbuat yang tidak-tidak. Saya masih takut pada Tuhan," ucapnya.
Aku terperangah. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Kulihat tatapan tulusnya, lalu kuberikan sebagian belanjaanku yang memang agak sulit kubawa.
Sambil berjalan menuju rumahku, aku bertanya tentang dirinya untuk mencairkan suasana.
"Kenapa ngamen di jalan, kan seharusnya jam-jam seperti ini adik berada di sekolah," tanyaku.
"Kak, jangankan sekolah, bisa makan aja sudah syukur," ucapnya tanpa beban.
Jantungku berdetak! Dia begitu tenang mengatakannya. Wajahnya yang polos membuatku semakin tertegun. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Bagaimana tidak? Tuhan telah memberikan anugerah yang besar buatku. Aku memiliki keluarga yang baik, mendapat kesempatan mengecap pendidikan sampai sarjana, bahkan telah mendapat pekerjaan, namun aku masih saja sering mengeluh. Sementara dia, seorang bocah cilik yang seharusnya masih menikmati masa kanak-kanaknya, bersekolah dan bermain, namun harus mengalami hidup yang berat.
Ketika sampai di rumah, aku segera berterimakasih padanya. "Terimakasih ya, dik. Nah ini, kakak punya sedikit uang," ucapku sambil menyerahkan selembar uang sepuluhribuan. Wajah anak itu berbinar-binar, menunjukkan kesenangan yang luar biasa.
"Kakak ikhlas?" tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu menerimanya, kemudian pergi. Baru lima langkah, dia berbalik dan menoleh kepadaku.
"Tuhan memberkati kakak," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku lagi-lagi terperangah. Ada yang kupetik dari peristiwa itu, bahwa setiap orang memiliki persoalan. Dan selama masih hidup di dunia, setiap manusia tidak luput dari masalah. Sepedih apa pun peristiwa yang kita alami, masih ada orang lain yang mengalami persoalan jauh lebih pedih dari yang kita alami. Orang yang kita lihat senang, kaya, terpandang sekalipun juga dilanda persoalan-persoalan rumit. Sekarang tergantung pada kita bagaimana menyikapinya. Kita memang harus lebih bijaksana, karena ada pepatah yang mengatakan, 'di atas langit masih ada langit'.
Komentar