Menjalankan usaha bisnis dengan teman ternyata punya plus minus tersendiri. Sedang menyusun rencana untuk bermitra dengan kawan? Simak dulu saran para pakar berikut.
Bisnis katering itu dirintis Lisa, Emmy, dan Cathy - tiga sekawan yang sudah bersahabat karib sejak bangku SMK.
Ketiganya memiliki passion yang sama di dunia kuliner. Awalnya, masing-masing iseng menerima pesanan orang yang suka rasa masakan mereka. Seiring waktu berjalan, pesanan yang bertambah membuat mereka bertiga memutuskan untuk bergabung dibawah satu bendera perusahaan.
Melihat peluang usaha yang menjanjikan, ketiganya sepakat menyewa bangunan dan merekrut karyawan. Namun, pengelolaan keuangan yang kurang profesional hingga perselisihan pribadi akhirnya membuat mereka harus pecah kongsi. Persahabatan mereka pun turut terpengaruh.
Apakah cerita ini terdengar familiar? Memang, kendati merintis bisnis bersama teman dapat menelurkan kisah sukses, tak sedikit pula yang berujung pada perpecahan. Ternyata, saling mengenal saja tak cukup. Gawatnya, kegagalan tersebut kerap berakibat pada relasi pertemanan yang sudah lama terjalin.
Menyikapi fenomena ini, Erwin Halim, MBA, MM, dari Proverb Consulting, menegaskan bahwa sebuah bisnis sudah seharusnya dimulai dengan kepercayaan.
"Percaya pada partner bisnis adalah modal penting. Hal inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang join bisnis dengan teman. Tentu, pertimbangan skills, pengalaman, atau knowledge teman tersebut juga penting sebagai pertimbangan teknis," ujar Erwin.
Pendapat senada disampaikan Flora Chrisantie, Direktur Saka Merdeka Kencana. Menurutnya, ada berbagai alasan seseorang memutuskan untuk berbisnis dengan teman, di antaranya karena hubungan yang sudah lama terjadi sehingga sudah saling kenal dekat.
"Umumnya kita dan teman punya visi dan misi yang sama, punya ketertarikan dan kepentingan yang sama. Karena itu, kita merasa cocok dan membuka bisnis bersama," kata Flora.
Kedua pakar ini mencatat sejumlah plus dan minus dalam membangun bisnis bersama teman sendiri.
"Plusnya tentu karena teman adalah sosok yang sudah sangat dekat atau dikenal, sehingga passion dan flow of work mungkin langsung nyambung, karena biasanya kita mencari yang sepikir dan sehati," ungkap Erwin.
"Berbisnis dengan teman memiliki nilai tambah karena kita sudah saling kenal dan pasti ada rasa percaya di sana. Apalagi kalau kenalnya sudah sangat lama, sudah tahu kelebihan dan kekurangan teman seperti apa," tandas Flora.
Hubungan yang sudah lama memang menjadi modalitas utama berbisnis dengan teman. Hal ini menjadi nilai tambah tersendiri, karena kita sudah tahu sama tahu karakter dan kebiasaan teman. Bandingkan dengan berbisnis bersama orang atau investor yang baru dikenal, pasti butuh waktu dan proses untuk mengenal profil dirinya lebih jauh.
Namun, di sisi lain, karena mitra bisnis adalah kawan sendiri, maka kita sering kali merasa jengah atau sungkan untuk menegur teman jika mereka melakukan kesalahan.
Flora memaparkan bahwa kelemahan berbisnis bersama teman timbul saat ternyata bisnis tersebut tidak berjalan sesuai ekspektasi, terjadi salah paham, atau terjadi ketidakcocokan di tengah jalan.
"Hubungan pertemanan pun bisa jadi korban," kata Flora
"Kita dan teman pun tidak seakrab dulu, atau bahkan jadi bermusuhan. Apalagi kalau sampai membawa ego masing-masing dan tidak ada yang mau mengalah."
Melihat plus minus tersebut, kedua pakar ini menyarankan sejumlah aturan main sebelum Anda memulai bisnis bersama teman.
"Menjalankan bisnis bersama teman tetap harus mempunyai aturan sejak awal. Bisnis tetaplah bisnis, bukan sedang iseng-iseng," tegas Erwin.
Karena itu, tanggung jawab, pembagian tugas, hak dan kewajiban, serta keuangan harus jelas sejak awal. Jangan karena dibangun bersama teman, maka kita lantas berpikir rule of the game ini tidak penting dan bisa dibicarakan belakangan.
Sementara itu, Flora menyebutkan bahwa profesionalisme menjadi kunci utama agar bisnis tetap terjaga dan berjalan dengan baik, serta hubungan pertemanan tidak rusak.
"Kunci kedua adalah menyadari pentingnya keterbukaan. Jika di awal berbisnis kepercayaan bersama sangat mutlak, maka ini harus dijaga dan dipupuk. Jangan berbohong atau mengutamakan egoisme, karena biasanya bisnis bersama rusak karena ego," tukas Flora.
Erwin mengutarakan hal serupa. Ia memperingatkan bahwa yang harus diwaspadai saat bermitra bisnis dengan teman adalah sikap terlalu percaya sehingga tidak ada kontrol terhadap pekerjaan teman tersebut.
"Jika teman hanya menjadi investor maka perannya harus jelas sebagai investor. Jika ikut terlibat dan bekerja juga harus jelas. Jangan sampai melakukan pengambilan aset dari keuntungan perusahaan tapi terus tidak dicatat, misalnya," tandas Erwin.
Profesionalisme dan hubungan pertemanan, menurut Erwin, memang perlu dipisahkan.
Tentu, dengan dasar profesionalisme, bukan karena pertemanan lalu merasa kasihan dan memberi pekerjaan atau proyek untuk teman. Unsur seperti ini sebenarnya tidak apa-apa, tetapi tetap harus dilakukan secara profesional.
Hal senada disampaikan Flora. "Kelola bisnis secara profesional, tempatkan seseorang sesuai kapasitas dan kemampuannya, dan pastikan ia memiliki tanggung jawab sesuai job desknya," tandasnya.
Kendati demikian, selalu ada batu sandungan dalam berbisnis, tak terkecuali sebuah bisnis yang dirintis bersama teman ini. Erwin mencatat sejumlah faktor yang lazim yang jadi pemantik masalah, bahkan bisa berujung pecah kongsi.
Di antaranya adalah masalah komunikasi yang tidak jelas dan lengkap, atau masalah perbedaan visi. Ada pula tantangan yang timbul karena partner atau teman berubah sikap, misalnya menjadi serakah dan mau untung sendiri karena melihat peluang bisnis yang menggiurkan.
Lantas, bagaimana jika pada akhirnya terjadi pecah kongsi atau perselisihan dengan teman yang menjadi mitra bisnis?
Flora mengingatkan, mungkin bisnis boleh berakhir, tetapi pertemanan sebisa mungkin jangan sampai rusak. Semua itu kembali lagi ke masing-masing individu, bagaimana ia bisa berjiwa besar dan memisahkan antara bisnis dengan pertemanan atau kekeluargaan.
"Kalau misalnya pecah kongsi, anggaplah itu bisnis yang belum berhasil dijalankan dengan teman kita. Namun, secara pertemanan, dia tetap dan masih teman kita. Karena itu, Anda butuh membuat perjanjian tertulis agar semua menjadi jelas dan Anda bisa bersikap tegas," ujar Flora.
Perjanjian tertulis dibutuhkan agar relasi bisnis tetap profesional dan saling menjaga komitmen. Karena dikelola secara profesional, tentu saja perlu dilakukan sampai ke notaris, pembuatan SOP, job desk, dan prosedur.
"Perjanjian tertulis inilah yang akan menjadi pedoman dan rujukan selama menjalani bisnis bersama teman. Tanpa aturan main tersebut, sulit rasanya menghindar dari perpecahan," tegas Flora.
Menurut Erwin, selain tidak adanya aturan main yang jelas dan tertulis, faktor lain yang dapat memicu perpecahan adalah ketiadaan visi yang kuat, sehingga sering sekali di tengah jalan ada perasaan diperlakukan tidak adil dan berujung pada bubar jalan.
Jika sudah demikian, Flora mengingatkan bahwa toleransi pertemanan sejauh bisa diterapkan kalau aturan mainnya jelas. Meski teman sendiri, kalau dia salah tetap harus ditegur dan diberikan sanksi.
"Barangkali cara memberitahunya yang sedikit berbeda, misalnya dilakukan empat mata atau dalam suasana non-formal, tidak saat meeting bersama karyawan lain atau anak buah," saran Flora. "Istilahnya, ditegur secara kekeluargaan."
Sekali lagi, dalam berpartner dengan teman sebaya, tetaplah junjung profesionalisme sebagai acuan bertindak. Dengan begitu, bisnis berjalan lancar, pertemanan pun tak bubar.
Komentar