Perawatan Paliatif Harus Diberikan Sesuai Kondisi dan Kebutuhan Pasien


Belakangan, istilah "paliatif" jamak digaungkan, terutama terkait kondisi keganasan penyakit. Mari kenali perawatan penting dalam tahap akhir kehidupan pasien ini.

Adalah hak pasien untuk mendapat perawatan semaksimal mungkin, termasuk pasien keganasan yang berada di stadium akhir. Bagi mereka, pilihan perawatan yang tepat sesuai kondisi dan kebutuhan tetaplah harus diberikan.

Di sinilah perawatan paliatif dibutuhkan, seperti diungkapkan oleh Dr. Bob Andinata, Sp.B(K)Onk, Kepala Poliklinik RS Kanker Dharmais. Umumnya, perawatan ini penting bagi pasien kanker stadium akhir.

Dr. Bob menyebut bahwa dari empat stadium kanker payudara, harapan hidup stadium IV adalah 10-20 persen. Jika ada 10 pasien stadium IV, lima tahun mendatang jumlahnya tinggal 1-2 orang. Jika pasien bisa melewati masa 2 tahun saja, sudah bagus.

"Di sinilah perawatan paliatif dilakukan. Ini adalah sebuah treatment dimana kita tidak lagi menyembuhkan pasien, tetapi berupaya meningkatkan kualitas hidupnya," ujar Dr. Bob.

Hal yang diperhatikan antara lain asupan makanan, karena pasien stadium IV biasanya tidak mau makan. Jadi, perawatan paliatif berusaha agar asupan makanan pasien tetap bagus, sehingga kualitas hidupnya terjaga dan ia dapat bertahan semaksimal mungkin.

Sebagai salah satu pakar paliatif ternama di Indonesia, Dr. Maria Astheria Witjaksono, M.Pall, dari RS Kanker Dharmais, dengan tegas menyebutkan bahwa prinsip paliatif bukanlah eutanasia. Sebaliknya, setiap tindakan paliatif berfungsi meningkatkan kualitas hidup.

"Perawatan paliatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang memiliki penyakit yang dapat mengancam jiwa," tegas Dr. Maria.

Bagi pasien stadium lanjut, secara medis waktunya terbatas. Maka, perawatan paliatif membantu bagaimana pasien bisa memanfaatkan waktu yang ada sehingga hidupnya betul-betul berkualitas.

"Jadi, bagi pasien yang punya harapan hidup beberapa bulan, maka selama dia hidup beberapa bulan itu, kualitasnya harus baik. Tidak hanya tergeletak di atas tempat tidur, tetapi tetap aktif di rumah, misalnya tetap masak walau di atas kursi roda dan menjalani hobi baru," saran Dr. Maria.

"Pada intinya, pasien paliatif harus tetap aktif dengan kegiatan yang bisa dilakukan. Buatlah hidupnya seperti orang yang tidak sakit. Karena itu, pasien paliatif tidak perlu rumah sakit, tapi justru rumah sehat yang penuh kasih sayang dan lingkungan yang mendukung," ungkapnya.

Perawatan paliatif juga harus melihat seluruh aspek kehidupan pasien.

Dalam hal ini, yang diperhatikan bukan hanya masalah fisik, melainkan juga masalah sosial, spiritual, emosi, dan psikologis. Selain kualitas hidup pasien, kualitas hidup keluarganya juga perlu perhatian.

"Pada kanker stadium lanjut, bukan hanya pasien yang menderita. Keluarga pun memiliki beban yang berat. Ketika seorang pasien dan keluarga menderita, ketika pasien kehilangan harapan dan dokternya kehilangan harapan, di sinilah paliatif dibutuhkan," tandas Dr. Maria.

Salah satu caranya adalah dengan memberikan pengertian yang tepat kepada pasien dan keluarga yang belum bisa menerima kondisi mereka. Bagaimana mengajak mereka menerima, berdamai, dan beradaptasi dengan kondisinya untuk menentukan ke depan mau apa.

Kesulitan lain yang dihadapi keluarga dari pasien paliatif adalah pasangan, suami atau istri, yang harus tetap bekerja karena dia adalah satu-satunya yang mencari nafkah. Jangan sampai ia tidak bisa bekerja, kemudian dikeluarkan.

Selain itu, pendampingan paliatif yang diberikan juga terkait dengan bagaimana mencari caregiver untuk pasien. Dari tetangga atau keluarga besar dikumpulkan, lalu dibuatkan jadwal untuk merawat atau melakukan apa pun yang bisa mereka bantu.

Di samping tim medis, perawatan paliatif juga dapat melibatkan social worker, rohaniawan, terapis, dan psikolog - tergantung pada kebutuhan pasien.

Dr. Maria mencatat sejumlah kendala dalam pelaksanaan perawatan paliatif.

Pertama, tenaga ahli yang masih terbatas. Kedua, terapi ini belum menjadi program prioritas pemerintah, meski sangat dibutuhkan oleh semua pasien stadium lanjut.

Ketiga, pasien masih butuh aspek lain yang ada di paliatif, dari masalah keluarga yang sudah kelelahan sampai persoalan spiritual. Jika ini tidak mendapat penatalaksanaan dengan baik, maka tentu akan memengaruhi kualitas hidup.

Tantangan keempat adalah dari segi obat-obatan yang digunakan untuk menghilangkan nyeri. Kelima, tantangan dari pasien atau keluarga, yang biasanya menganggap bahwa paliatif berarti sudah tidak lagi berjuang dan berusaha semaksimal mungkin. Padahal, kalau mau dipahami, pasien sendiri mungkin sudah kelelahan dan siap untuk pergi," ujar Dr. Maria.

"Namun, keluarga pasien kerap merasa bahwa meninggal di rumah sakit lebih bermartabat daripada di rumah. Padahal, bagi pasien sendiri mungkin sangat menyiksa karena ia meninggal di lingkungan yang tidak nyaman," paparnya lagi.

Sejatinya, perawatan paliatif hadir agar di masa-masa akhir hidupnya, sang pasien diberikan yang terbaik, untuk kemudian disadari bahwa kematian tidak bisa dielakkan dan tidak perlu ditakuti. Karena itu, pasien paliatif justru harus disiapkan untuk menghadapi kematian dengan baik.

Mungkin, dia masih memikirkan dirinya pernah menyakiti atau disakiti orang, tapi belum dimaafkan atau memaafkan. Atau, dia mencemaskan pembagian harta warisan untuk anak-anak. Jika masalah duniawi seperti ini belum selesai, maka tentu akan menjadi ganjalan saat ia bertemu Tuhan-nya.

Dalam tahap paliatif, pasien diberi kesempatan untuk mengikhlaskan tubuh yang kondisinya terus menurun, tetapi jiwanya harus tetap sehat. Karena obat sudah tidak mempan, maka untuk kondisi fisiknya, sudah tidak bisa dilakukan apa-apa.

Dr. Maria bercerita, ada cara khusus agar pasien tahu bahwa hidupnya tak lama lagi. "Biasanya tunggu pasien bicara sendiri. Misalnya, 'Dok, sepertinya waktuku sudah tidak lama lagi' atau 'Dok, sepertinya sudah dekat mau pergi,'" tuturnya.

Jika pasien belum mengutarakan ini, maka dokter yang akan memancing dengan menanyakan kondisi pasien, apakah semakin baik atau semakin buruk. Lalu, dokter bertanya lebih lanjut tentang apa harapan pasien.

"Jika pasien mengatakan, 'Aku ingin sembuh", maka saya berkata, 'Saya juga mau ibu sembuh, tapi sembuh itu apa, sih?' Kadang, pasien mengatakan 'sembuh' bukan dalam makna harafiah, tapi misalnya ingin melihat anaknya menikah dua bulan lagi. Nah, agenda ini yang harus dicapai, supaya pasien merasa hidupnya betul-betul berarti," papar Dr. Maria.

Apa yang dibutuhkan tenaga medis yang menjalankan perawatan paliatif?

Selain kompetensi dan skill, dibutuhkan 3H: head, hand, dan heart. Ingat, tujuan dari sebuah perawatan paliatif adalah hidup dengan berkualitas, kalau harus pergi meninggalnya dengan bermartabat, dengan nyaman dan dengan damai.

Dr. Maria sendiri berharap agar perawatan paliatif di Indonesia dapat segera di-cover oleh BPJS, karena ini tentu akan sangat meringankan beban keluarga pasien paliatif yang sudah lelah dan finansial sudah berkurang. Ia juga menaruh harapan besar pada juniornya untuk mau belajar mempraktikkan dan berkecimpung dalam perawatan paliatif.

Yang tak kalah penting, masyarakat perlu memahami bahwa pasien keganasan stadium lanjut sesungguhnya membutuhkan perawatan paliatif di rumah. Manfaatnya bukan hanya untuk pasien, melainkan juga untuk keluarganya.


Komentar