Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, begitu kata pepatah. Artinya? Lebih baik memberi daripada menerima. Dengar kata pakar mengenai kekuatan memberi.
Kapten Budi Soehardi, pilot yang pernah bekerja di maskapai ternama seperti Garuda Indonesia dan Singapore Airlines, telah lama berencana mengajak istri dan anak-anaknya liburan keliling dunia.
Namun, suatu hari ia melihat sebuah tayangan di TV mengenai kondisi kelaparan yang menimpa warga di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Hatinya tergerak. Sang kapten mengajak keluarganya untuk mengalihkan dana liburan mereka untuk berderma. Keluarganya setuju.
Sejak itu, Kapten Budi mendedikasikan diri untuk membantu sesama. Salah satunya dengan mendirikan Panti Asuhan Roslin bersama istri, yang menampung ratusan anak-anak kurang mampu di Kupang dan memberi mereka pendidikan. Nama sang kapten pun kian mendunia setelah ia mendapat penghargaan kemanusiaan CNN Hero 2009.
Sosok inspiratif seperti Kapten Budi menjadi contoh nyata dari besarnya manfaat berbagi, tak hanya bagi yang diberi, tapi juga untuk sang pemberi.
Menurut Daisy Indira Yasmine, M.Soc.Sci., staf pengajar Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, perilaku memberi memang dapat mendatangkan efek bahagia.
"Karena pada dasarnya, memberi juga menggambarkan si pemberi dapat berperan bagi orang lain. Apalagi, jika persoalan dapat teratasi, dan jika orang yang dibantu dapat keluar dari masalah," jelas Daisy.
Dalam skala lebih luas, sikap memberi dapat menjadikan kita sebuah kapital sosial yang kuat. Mengapa? Persoalan yang awalnya dipandang mustahil diselesaikan sendiri menjadi lebih mudah jika diatasi bersama.
"Itulah sebabnya, secara sosiologis, istilah giving terkait dengan kedekatan dan ikatan sosial antara satu orang dengan yang lain. Giving dapat menggambarkan solidaritas dan kapital sosial masyarakat," ujar Daisy.
Penjelasan senada disampaikan oleh Supriyanto, S.Psi., M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Pembangunan Jaya Bintaro.
"Selain dapat meringankan masalah yang dihadapi orang lain, memberi dan berbagi juga dapat meningkatkan kepedulian dalam diri, menajamkan kepekaan terhadap kesulitan orang lain, melatih empati, dan memperkuat kemampuan bersosialisasi," papar Supriyanto.
Menurut Supriyanto, perilaku memberi dikategorikan sebagai perilaku prososial, yakni sebagai jenis perilaku atau aksi yang ditujukan untuk memberikan manfaat atau keuntungan kepada orang lain. Contoh: membantu orang lain, berderma, dan berkorban untuk orang lain.
Dalam budaya timur, kebahagiaan cenderung dikaitkan dengan orang lain atau kebahagiaan kolektif, bukan hanya kebahagiaan personal. Karena itu, menurut Supriyanto, masyarakat Asia menilai seseorang adalah egois bila bahagia dan kesenangan hanya dirasakan sendiri.
"Dengan kata lain, bahagia adalah bila seseorang mampu membuat keluarganya, orang-orang terdekatnya, atau kelompoknya juga merasakan hal yang sama," ungkap Supriyanto.
Tak salah pula jika kerap disebutkan bahwa memberi atau membantu orang lain membawa kebahagiaan tersendiri.
Supriyanto mengutip sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa tingkah laku memberi, berdonasi, atau menjadi relawan berhubungan dengan kebahagiaan.
Dalam studi tim Harvard Business School yang diterbitkan dalam makalah berjudul "Feeling Good about Giving: The Benefits (and Costs) of Self-interested Charitable Behavior", para peneliti mengkaji dampak memberi terhadap kebahagiaan.
Di antaranya adalah memberikan uang untuk amal, yang ternyata mengaktivasi bagian otak yang berhubungan dengan kesenangan dan reward. Mereka yang bekerja sebagai sukarelawan juga terbukti memiliki tingkat kepuasan hidup tinggi dan level kecemasan yang rendah.
Bahkan, memiliki komitmen untuk melakukan kebaikan yang sederhana sudah membuat orang merasa bahagia. Karena itu, studi tersebut lantas menyimpulkan bahwa perilaku memberi dapat meningkatkan kebahagiaan.
Mengingat besarnya manfaat memberi, sudah semestinya setiap individu mampu dan mau melakukannya.
Kabar baiknya, kebiasaan memberi dan berbagi kepada orang lain dapat ditumbuhkan melalui proses-proses pembelajaran. Faktor lain yang memperkuat kebiasaan memberi adalah norma sosial.
Norma sosial memainkan peranan penting dalam membangun dan mempertahankan tingkah laku prososial dalam suatu kelompok masyarakat. Norma ini berfungsi sebagai standar perilaku yang menjadi acuan bagi anggota kelompok dalam berinteraksi dan menjalani kehidupan sehari-hari.
Salah satu faktor internal yang membuat seseorang bersedia memberikan sesuatu pada orang lain adalah empati. Individu yang punya niat untuk melakukan tindakan prososial mempunyai ciri yang sama, yaitu empati tinggi terhadap kesulitan orang lain.
Sebaliknya, seseorang yang tidak mau atau terasa berat memberikan bantuan kepada orang lain bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Kemampuan bersosialisasi dalam wujud suka memberi sudah semestinya dimiliki semua kelompok umur, dari anak-anak sampai dewasa.
Mengapa? Menurut Supriyanto, individu yang memiliki social skills tinggi akan lebih mudah diterima oleh kelompok atau lingkungannya, mampu menjalin relasi secara positif dengan orang lain, cenderung terhindar dari bullying, dan lebih mudah beradaptasi.
"Nah, beberapa contoh dari social skills tersebut identik dengan perilaku prososial seperti membantu, berbagi, memberi, dan bekerja sama," tandas Supriyanto.
Untuk memotivasi diri agar lebih giat melakukan perilaku prososial ini, ada banyak cara yang bisa kita coba.
Tentu, memberi tak hanya terbatas pada materi, tapi juga dalam arti luas, seperti memberi perhatian dan waktu kita.
Selamat memberi!
Ragam Hambatan Memberi
* Sedang memiliki mood atau emosi negatif.
* Sedang mengalami peristiwa sulit atau kurang menyenangkan.
* Adanya bias pribadi mengenai pihak atau orang yang akan diberi.
* Kurang atau tidak dihargai pada saat memberikan sesuatu.
* Ada keterbatasan waktu dan tenaga.
* Situasi perkotaan yang membuat seseorang mengalami overload.
* Kurang memiliki sumber daya yang diperlukan untuk memberikan bantuan kepada orang lain.
Motivasi Diri untuk Berbagi
Supriyanto, S.Psi., M.Si., dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Pembangunan Jaya Bintaro, membagi sejumlah langkah yang dapat diambil untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain agar senantiasa murah hati:
* Selalu mengasah kepekaan, meningkatkan kepedulian, dan memperkuat empati dalam diri.
* Libatkan diri dalam kegiatan-kegiatan amal, atau jadilah donatur pada suatu yayasan atau lembaga sosial.
* Memberi apresiasi dan respek kepada diri sendiri maupun orang lain ketika berderma dan memberikan sesuatu.
* Refleksikan pikiran dan perasaan setelah berderma atau memberikan sesuatu kepada orang lain.
Apakah kita merasa senang dan bermakna setelah berkontribusi? Tak ada salahnya mencari umpan balik. Mengetahui bahwa donasi atau sumbangsih kita ternyata bermanfaat bisa menjadi motivasi tersendiri untuk terus memberi dan berbagi.
Mewariskan Kebaikan
Semua orangtua tentu ingin mewariskan sikap baik kepada anak, termasuk kebiasaan untuk suka berderma. Apa saja metodenya?
* Instruksi
Berikan instruksi langsung kepada anak untuk menolong, menyumbang, dan memberi sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan.
* Penguatan
Berikan penghargaan atau hadiah sebagai reward kepada anak ketika ia menunjukkan perilaku prososial.
* Teladan
Berikan contoh nyata secara konsisten pada anak, bagaimana praktik berbagi pada sesama penting dilakukan.
Komentar