"Ayo, Yah, aku sikat kuku kaki Ayah." Aku mengajak kepada ayahku, dan dia pun tersenyum mendengarnya.
"Ayo," jawabnya semangat.
Ayahku lalu duduk di sofa tua kami sambil menonton televisi.
"Yah, makanya Ayah pakai sandal, dong." Aku berkata lembut sambil tersenyum. Tanganku mulai menyikati kaki ayahku yang kotor.
"Ayah itu nggak terlalu suka pakai sandal kalau di rumah. Lagi pula, tanpa sandal, Ayah bisa sekalian refleksi alami," kilah ayahku.
"Iya ... tapi kan, kaki Ayah jadi kotor kalau nggak pakai sandal," kataku lagi.
"Ayah itu sudah terbiasa hidup miskin. Dari dulu, Ayah memang nggak pernah pakai sandal. Jadi, Ayah agak risih kalau harus pakai sandal terus setiap hari. Apalagi di rumah. Ngapain pakai sandal segala?"
Aku tak menyahut.
"Waktu dulu, beli sepasang sandal itu mahal juga," lanjut ayahku.
"Iya ... tapi kan, sekarang Ayah sudah punya uang. Apalagi, kita kan juga berjualan sandal, Yah," ujarku sambil tertawa geli, karena kami memang berdagang dan kami berjualan sandal.
Ayahku tertawa tanpa berkomentar lagi.
Ah, itulah ayahku.
Lelaki sederhana yang tidak suka memakai sandal jika tidak pergi ke luar rumah.
Ayahku lebih memilih untuk nyeker alias bertelanjang kaki.
Ayahku adalah laki-laki pekerja keras. Dia adalah kepala rumah tangga yang rajin dan selalu senang bekerja. Mungkin, karena ayah sudah terbiasa hidup dalam kemiskinan.
Air bersih yang ada di dalam ember telah menjadi cokelat. Aku pun menggantinya dengan yang baru. Kemudian, kuguntingi kuku-kuku kaki ayahku yang sudah panjang lagi kotor. Setelah itu, kusikat lagi hingga bersih.
"Sudah selesai, Yah," ucapku. Kemudian, aku menyiapkan sepasang sandal bersih untuk Ayah, yang kuambil dari toko kami.
Ayahku sudah setengah tertidur.
Kuamati wajah tua ayahku.
Dari mukanya, kulihat sosok lelaki yang baik. Walau ayahku adalah orangtua yang galak, tapi bagiku ayah adalah ayah yang terbaik. Aku sangat bersyukur memiliki ayah seperti dirinya.
"Ah, betapa aku menyayangimu, Ayah," ucapku dalam batin.
Lalu, kutinggalkan ayahku yang kini sudah tertidur di sofa.
Beberapa bulan kemudian, aku pergi merantau ke Jakarta untuk mencari uang untuk biayaku kuliah.
Selama dua tahun, aku mengajar les di Jakarta, dan dari uang hasil mengajar, aku dapat melanjutkan kuliah. Aku sering pulang ke kampung karena aku rindu pada kedua orangtuaku.
Namun, yang paling aku khawatirkan adalah ayahku dan kuku-kuku kakinya. Ayah sangat jarang menggunting kuku kakinya dan hampir tidak pernah menyikati kakinya yang kotor.
Ayahku juga sangat cuek. Jadi aku sering pulang untuk menyikati kuku kaki ayahku
Dan, ayahku juga sangat senang saat aku pulang.
"Ayah ... Aku pulang!" teriakku di depan pintu rumah seraya masuk.
Kulihat sosok ayahku, dan kupeluk dia dengan erat.
Ayah tersenyum.
Seperti biasa, aku selalu membantu ayahku berdagang di toko kecil kami. Lalu, selepas tutup toko, aku pasti bergegas mengisi ember dengan air dan siap untuk menyikati kaki ayahku yang pasti selalu kotor itu.
"Ayo," Ayahku mengajak dengan semangat. Ia sudah hafal dengan kebiasaanku ini.
"Let's go!"Aku menyahut dengan gembira.
Ayah sudah siap duduk di sofa tua kami.
Ah, senangnya aku bisa menghabiskan waktu bersama ayahku.
"Yah," sapaku memulai pembicaraan, sambil tekun menyikati kuku-kuku kaki ayah.
"Iya?" jawab ayahku.
"Aku ini belum bisa lho, Yah, membuat Ayah bahagia. Aku belum pernah ajak Ayah jalan-jalan, atau beliin Ayah barang yang mewah-mewah," kataku.
Ayahku hanya tersenyum.
"Nggak apa-apa kan, Yah?" tanyaku cemas.
"Iya, nggak apa-apa. Kamu pulang dan ingat Ayah saja, Ayah sudah senang. Kamu itu anak baik. Cuma kamu yang selalu bersihin kuku kaki Ayah. Buat Ayah, itu sudah lebih dari cukup."
Mendengar itu, aku begitu bahagia.
"Terima kasih, Ayah." Aku tersenyum lebar.
Dan ayahku pun tersenyum.
Ayahku memang jarang bicara. Ia akan bicara seperlunya saja.
Walau katanya surga ada di telapak kaki ibu, tapi aku sangat senang dengan telapak kaki ayahku. Kaki ayahku yang kasar, kotor, dan keras inilah bukti kasihnya kepada kami sekeluarga.
Ayahku bekerja amat sangat keras untuk menghidupi kami semua. Makanya, kaki ayahku begini keras dan kotor, karena sejak dulu ayahku pergi mencari nafkah sampai ke gunung untuk memetik kopi, memecah batu, dan mengayuh sepeda ontel tuanya berkeliling dan berjualan minyak tanah demi kami semua.
Ayahku mengayuh sepeda sambil menjajakan minyak tanah tanpa menggunakan sandal, karena ayahku merasa daripada membeli sandal, lebih baik uangnya dipakai untuk membeli beras untuk kami makan.
Begitu sayangnya ayah kepada kami semua, dan aku begitu berterima kasih kepada ayah atas apa yang telah ia lakukan untuk kami semua.
Kini aku telah menikah dan memiliki seorang putra, tapi aku selalu rindu untuk pulang. Aku rindu pada ayah dan kuku kakinya. Jadi, aku beberapa kali pulang ke kampung halaman.
"Yah, aku pulang!" teriakku di depan rumah.
Ayah terlihat begitu senang. Kupeluk ia dengan erat.
Seperti biasa, aku tetap membantu ayahku, dan setelah tutup toko, aku menyiapkan ember dan air untuk menyikati kaki ayahku yang kotor.
Kali ini, ayahku duduk di sofa bersama anakku.
"Aduh, cucu Kakek," tawa ayah seraya bermain bersama anakku. Aku duduk berjongkok dekat kaki ayah, melihat keceriaan mereka berdua. Hatiku begitu senang.
"Yuli."
"Iya, Yah?"
"Ayah senang kamu pulang bawa suami dan cucu," jelasnya. "Kamu itu anak baik ayah."
Ia melanjutkan, "Ayah ini Ayah yang beruntung, karena Ayah memiliki anak seperti kamu. Tanpa kamu bawa Ayah jalan-jalan pun, Ayah sudah sangat senang kamu masih ingat dan mau bersihin kuku kaki Ayah."
"Dari kamu masih sekolah sampai kamu menikah dan punya anak, kamu masih mau datang berkunjung dan ingat sama Ayah. Itu kado terindah buat Ayah," jelas ayahku.
Mendengar kata-kata ayahku, air mataku mengalir deras.
Ayahku yang pendiam dan jarang sekali bicara mau memaparkan isi hatinya dengan panjang lebar seperti ini. Bagiku, ini sebuah kejutan yang menyenangkan.
Kupeluk ayahku dengan erat.
"Terima kasih, Ayah," ucapku. "Aku sayang Ayah. Ayah adalah Ayah terbaik yang Tuhan berikan untukku."
Kegiatan menggunting kuku dan menyikati kaki ayahku bukan sekedar membersihkan kakinya, melainkan juga ungkapan rasa cinta kasih dan terima kasih kepada ayahku.
Aku melakukan ini semua sejak aku masih duduk di SMA. Hingga kuliah dan bekerja, aku terus meluangkan waktu untuk pulang dan menyikati kuku dan kaki ayahku.
Mengapa? Karena dari kaki kotor ayahku itulah, aku bisa ada hingga sekarang.
Komentar