Apa Kata Para Psikolog Tentang Unggahan Kemesraan di Media Sosial?


Tak sedikit yang mengumbar hubungan asmara di media sosial. Sebelum Anda ikut mengunggah kisah percintaan ke dunia maya, baca dulu saran para psikolog.

Media sosial membuat kehidupan seseorang ibarat akuarium. Segala sesuatu tentang dirinya bisa dilihat oleh orang lain, termasuk kehidupan asmara.

Foto intim berdua, status bernada mesra, dan momen istimewa bersama pasangan sering kita jumpai di media sosial. Sebaliknya pun begitu: pertengkaran dan caci maki pasangan yang berpisah juga lumrah kita temui.

Begitulah ketika asmara dipindahkan ke dunia maya. Mulai dari status, foto, rekaman suara, hingga video percintaan dua anak manusia tercatat di lini masa. Apa yang dulu merupakan ranah pribadi, kini menjadi konsumsi publik.

Fenomena ini tak lepas dari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, tegas Nirmala Ika Kusumaningrum, M.Psi., Psikolog, dari RS Pluit. Ini menjelaskan keinginan kita untuk diterima sebagai bagian dari masyarakat, baik di kehidupan nyata maupun dunia maya. Dalam hal ini, di media sosial.

"Pada individu yang ekstrovert mudah membuka diri, umumnya tidak kesulitan dalam bersosialisasi, pada introvert yang lebih sulit membuka diri, tentu perlu usaha khusus untuk bisa bersosialisasi," papar Ika.

"Nah, media sosial mengakomodir hal tersebut," tandas Ika. "Keinginan untuk diterima dan menjadi bagian dari masyarakat, baik untuk si ekstrovert maupun yang introvert, tersalurkan melalui media sosial."

Ibarat buku harian, di media sosial, semua isi kepala bisa dibagikan tanpa melihat reaksi orang lain. Di sisi lain, unggahan tersebut juga bisa dengan bebasnya dikomentari, disukai, atau diteruskan ke orang lain.

"Di sinilah media sosial menjadi wadah baru mengumbar apapun yang terkait dengan seseorang termasuk hubungan asmaranya," ungkap Ika.

Pendapat tersebut diamini oleh Jane Lupita Vietra, M.Psi., Psikolog, dari Yayasan Pulih. Menurutnya, kebiasaan mengunggah kemesraan bersama pasangan di media sosial menunjukkan bahwa setiap individu ingin diakui oleh masyarakat.

"Apalagi, di budaya kita masih cukup kental keyakinan bahwa setiap orang harus memiliki pasangan. Jadi, unggahan tersebut dipilih sebagai cara untuk menunjukkan status bahwa saya punya pasangan. Dalam hal ini, motivasinya lebih ke mendapatkan pengakuan sosial," jelas Jane.

Tentu, mengunggah kemesraan dengan pasangan di dunia maya - baik yang sudah menikah maupun pacaran - memiliki plus minus tersendiri. Positifnya, seperti diungkapkan sebelumnya, adalah untuk mendapatkan pengakuan atau legitimasi sosial bahwa dirinya memiliki pasangan.

Negatifnya? Jane menilai, jika ada yang berlebihan memamerkan kemesraan, maka patut dicurigai bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik hubungan asmara tersebut.

"Ada sejumlah kasus di mana pasangan sangat mesra di media sosial, tapi setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka mengalami KDRT atau kekerasan dalam hubungan," ungkap Jane dengan nada prihatin.

Jane mengingatkan, media sosial dan dunia maya menampilkan citra yang bisa dibentuk atau diciptakan sedemikian rupa. Tentu saja, ini bisa sangat berbeda dengan realita.

"Nah, ketika ada orang lain yang melihat realita hubungannya tidak seindah yang ditampilkan di media sosial, maka itu kembali ke citra diri si pasangan tersebut," tandas Jane.

Terlepas dari itu, dampak lain yang mungkin ditimbulkan adalah ketidaksepahaman atau pasangan yang justru tidak ingin hubungan asmaranya diekspos melalui media sosial. Satunya mengumbar, lainnya tidak.

Jane mengingatkan, dalam setiap relasi, yang diinginkan adalah kesetaraan di mana tidak ada satu pihak menguasai yang lain. Ketika si wanita mengunggah sementara si pria tidak suka, maka ini bisa menjadi masalah.

Memang, tampaknya belum banyak yang memahami bahwa dengan pamer kemesraan, risikonya bisa panjang. Dari seks bebas di masa pacaran, kekerasan dalam rumah tangga, sampai prostitusi, ini bisa ditiru anak muda yang melihat di media sosial.

Lebih jauh, Ika mengkritisi perilaku berlebihan dengan mengumbar kemesraan ini.

"Jika memang ingin menunjukkan kemesraan atau kasih sayang kepada pasangan, kenapa tidak langsung saja pada orangtuanya, mengapa harus lewat media sosial? Apalagi, kalau orangnya ada di sebelah Anda," tandas Ika.

Pertanyaan ini, menurut Ika, muncul bukan tanpa alasan. Terkadang, kebiasaan mengumbar cinta di media sosial justru bisa memicu keraguan pada pasangan, apakah kemesraan tersebut orisinil atau tidak, apakah ekspresi cintanya asli atau palsu belaka. Selalu ada orang yang kritis, yang mempertanyakan relasi sebenarnya seperti apa, apakah semesra dan seromantis di dunia maya, atau justru sebaliknya.

Apakah benar harmonis, atau hanya kamuflase supaya terlihat mesra? Sebuah hubungan tentu tidak selamanya berjalan harmonis, mesra, dan baik. Selalu ada saatnya kerikil datang, masalah menghadang, atau pun kasih sayang meluntur karena banyak sebab.

"Di satu sisi, sah-sah saja naluri berinteraksi sosial mendapatkan reward atau legitimasi sosial karena hubungan asmara yang mesra. Namun, di sisi lain, jangan sampai unggahan tersebut membahayakan diri sendiri maupun orang lain," Ika mengingatkan.

Misalnya, si pengunggah jadi terobsesi karena unggahannya tidak banyak mendapat respons baik seperti yang diinginkan. Bahkan, sampai merasa stres saat tidak banyak yang memberikan "like" atau komentar.

Menurut Jane, pamer kemesraan yang berlebihan di media sosial dapat memberikan mimpi atau janji palsu ke orang atau pasangan lain.

Contoh, gaya pacaran atau pernikahan para selebriti. Masyarakat awam yang melihatnya akan terobsesi memiliki hubungan asmara seperti itu, sementara kemampuan diri tidak memungkinkan.

Karena itu, bijaklah mengunggah kemesraan. Gunakan filter. Dan bagi masyarakat awam, sadari kemampuan diri, apakah bisa seperti para selebriti atau orang lain yang hubungan asmaranya tampak ideal.

"Ingat, tidak semua hal-hal di media sosial itu nyata, media sosial adalah citra yang ingin ditampilkan, sering kali tidak sesuai dengan realita yang ada," pesan Jane.

Dalam asmara, Ika menegaskan bahwa ada area privat yang mestinya menjadi konsumsi pribadi, tanpa harus dibagi ke orang lain. Pahami bahwa semua orang ingin privasinya terlindungi.

"Ada baiknya hal ini dibicarakan dengan pasangan, apakah dia berkenan kemesraan dan hubungannya rutin diunggah di media sosial atau tidak," tandas Ika.

Kedua psikolog ini mengingatkan agar para pasangan tetap fokus dalam menjaga hubungan.

"Tantangan menjaga relasi saat ini adalah menjaga bahagia luar dalam. Kemampuan setiap orang berbeda-beda dalam menjaga relasi. Itu sebabnya, image yang ditampilkan di publik sering kali 'lari' dari situasi yang sebenarnya," kata Ika.

"Idealnya, hubungan yang sehat-sehat saja adalah yang tidak menampilkan citra berlebihan. Kebahagiaan pasangan tentu saja tidak selalu terletak pada mengunggah kemesraan di media sosial," pungkas Jane.


Komentar