Air Mata Mulai Membasahi Pipi Aldo



"Kamu sudah siap, sayang?" Aldo masuk ke dalam kamar yang didominasi warna pink itu. Anak perempuan di hadapannya mengangguk dan langsung menghambur ke pelukan ayahnya.

"Daddy, apakah Susi sudah cantik?" tanya anak perempuan itu dengan menggemaskan.

"Ya, kamu sangat cantik hari ini, Susi," sahut Aldo  sambil membalas pelukan putri semata wayangnya.

Setelah mengunci pintu rumah, mereka naik ke mobil. Susi duduk dengan manis tepat di sebelah Aldo yang berada di kursi pengemudi. Ketika melihat putrinya sudah bisa memakai sabuk pengaman sendiri, teringat oleh Aldo ketika Susi masih lebih kecil, setiap naik mobil, dia harus selalu membantu putrinya mengenakan sabuk pengaman.

"Kita mampir ke toko bunga sebentar, ya," kata Aldo. Gadis kecil di sebelahnya mengangguk.

Aldo membeli dua tangkai bunga matahari yang masih segar. Susi sangat menyukai bunga itu, sampai-sampai ia bersikeras untuk memangku bunga itu sepanjang perjalanan.

"Daddy, jangan marah ya, Susi mau ngomong sesuatu."

"Kamu pasti mau mengakui kenakalanmu?" jawab Aldo sambil mencubit gemas pipi tembam Susi. Gadis itu hanya cemberut setiap kali ayahnya melakukan hal itu.

"Kemarin di sekolah Susi ada perayaan Mother's Day."

Mendengar kata-kata itu, Aldo merasa sesak. Ia mengelus kepala Susi, terdiam dalam kesesakannya.

"Kemarin Susi kabur ke perpustakaan, dan ketahuan sama Bu Helen."

Gadis itu menunduk sedih. Aldo bungkam, karena ia tahu bahwa itu bukan sepenuhnya salah anak itu. Ia tahu betul bahwa Susi sangat tidak suka menunjukkan kesedihannya dan lebih memilih untuk mengalihkannya dengan melakukan hal lain.

Ketika melirik anak itu, Aldo melihat mata Susi mulai berkaca-kaca.

"Sorry, Daddy. Besok Daddy diminta Bu Helen untuk ke sekolah karena Susi."

Mendengar jawaban itu, Aldo tersenyum. Ia mengelus punggung Susi untuk menenangkannya.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Besok Daddy akan datang. Susi jangan sedih lagi ya."

Susi mengangguk mendengar jawaban ayahnya. Aldo merasa sangat bersalah belum bisa benar-benar membahagiakan putrinya. Ia tahu seberapa pun ia berusaha, dirinya sendiri saja tidak cukup untuk membuat Susi bahagia.

Mereka kemudian saling melempar ledekan dan canda tawa.

Sesekali Susi bernyanyi dengan logat cadelnya mengikuti lagu yang sering didengarnya di radio. Aldo hanya tertawa meledek ketika mendengar suara Susi yang cempreng ketika nada yang dinyanyikannya tidak sampai. Melihat ledekan ayahnya, Susi mencibir kesal dan malah menyanyi lebih melengking lagi.

"Oh, ayolah, Susi. Berhenti bernyanyi, kau membuat Daddy pusing."

Susi menghiraukan ayahnya dan terus bernyanyi dengan nada sekenanya.

"Hei, kita sudah mau sampai."

"Oh, sungguh?" Susi bertanya antusias.

Aldo mengangguk. Melihat anggukan ayahnya, Susi langsung berhenti bernyanyi dan merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan karena kelakuannya yang tak mau diam.

"Susi?"

"Ya, Daddy?"

"Kita akan bertemu seseorang yang sangat ingin kau temui hari ini," kata Aldo sambil tersenyum. Mobil yang dikendarainya melewati gapura besar berwarna putih.

"Sungguh? Mengapa Daddy tidak mengatakannya dari awal?'

Anak itu semakin antusias dan panik merapikan rambutnya. Sikapnya membuat Aldo tersenyum, menariknya ke masa lalu, mengingatkan dia dengan seseorang.

"Oh ya, kau harus menutup matamu, sampai Daddy menyuruhmu membukanya," pinta Aldo sambil memarkir mobilnya.

"Kenapa?"

"Yah, ini kan kejutan, meskipun Daddy rasa kau sudah tahu hari ini kita akan mengunjungi siapa. Ayolah Susi."

Mendengar jawaban ayahnya, gadis kecil itu menurut, lalu ia memejamkan matanya. Aldo keluar dari mobil dan membuka pintu penumpang. Ia menggendong Susi dengan sekali ayunan tangan. Yang digendong pun merespons dengan melingkarkan tangannya di sekeliling leher Aldo.

Aldo kemudian berjalan dengan pelan. Sudah beberapa bulan ia tidak ke sana. Kali ini ia datang bersama gadis kecilnya, dan itu membuatnya begitu resah. Ia tidak tahu bagaimana akan menghadapi anaknya jika mereka sudah sampai di tempat tujuan mereka.

"Daddy, kita sudah sampai?" tanyanya gemas?"

"Yup. Bukalah matamu, sayang." Aldo mengelus rambut gadis kecil itu.

"Daddy, ini sungguh indah," kata Susi takjub.

Ketika ia membuka mata, yang ia lihat adalah hamparan rumput yang luas, hari itu begitu cerah, seakan menyambut kedatangan Susi dan Aldo.

Gadis kecil itu menyadari, selain rerumputan, ada banyak batu marmer tertanam di situ. Aldo menurunkan gadis kecilnya, dan ia mendarat tepat di depan batu marmer berwarna keabuan. Di bagian atas ada foto seorang perempuan cantik, parasnya mirip Susi, tapi sudah lebih dewasa.

"Daddy! Ini Mommy. Jadi hari ini kita mau bertemu Mommy, ya?" Susi terpekik gembira menyadari foto itu adalah foto yang sama yang terdapat di beberapa sudut rumah mereka.

Aldo mengangguk, lalu berjongkok di sebelah putrinya dan memeluknya.

"Tapi, di mana Mommy sekarang?" tanpa Susi pelan, menengokkan kepala ke segala arah. Aldo terdiam, mengendalikan dirinya.

"Dia sedang melihat kita dari sana, dari surga," sahut Aldo sambil menunjuk ke langit yang cerah.

"Tapi aku tak bisa melihatnya," jawab gadis itu sambil menengok ke langit.

"Kamu tidak bisa melihatnya dengan matamu. Kamu harus melihatnya dengan hatimu."

"Kenapa?"

"Karena Mommy adalah seorang malaikat."

"Malaikat?" Susi bertanya antusias. Aldo mengangguk.

"Semua Mommy di dunia adalah malaikat. Mereka turun ke dunia untuk menjaga anak-anaknya."

"Oh ya?" tanya Susi polos. Aldo kembali mengangguk.

"Ketika malaikat-malaikat itu berada di surga, mereka tidak akan terlihat. Tetapi mereka akan terlihat ketika turun ke Bumi."

"Lalu, kenapa Mommy tidak berada di Bumi?"

Aldo mengambil napas berat. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dari tatapan putrinya, mengambil bunga matahari yang dibawanya dan meletakkannya di depan foto Deborah.

"Mommy-mu berbeda dari malaikat yang lain. Ia malaikat kesayangan Tuhan," bisik Aldo. Susi terdiam, terpana dengan jawaban ayahnya.

"Ketika ia turun ke bumi dan menjagamu, Tuhan merasa kesepian dan merindukan malaikat kesayangan-Nya, jadi ia memanggil Mommy kembali ke surga."

Air mata mulai membasahi pipi Aldo. Susi mengusapnya dengan jari-jarinya yang mungil. "Daddy, apa berarti mommy-mommy yang lain bukan kesayangan Tuhan?"

"Bukan begitu, sayang. Mereka hanya diberi waktu lebih lama berada di Bumi. Cepat atau lambat, mereka juga akan kembali ke surga."

"Tapi, aku ingin melihat dan memeluk Mommy, sama seperti teman-temanku memeluk mommy mereka," rengek Susi. Aldo mengelus rambut putrinya.

"Kamu tetap bisa memeluk dan dipeluk Mommy. Meskipun tidak terlihat, kamu bisa merasakan kehangatan Mommy. Di sini." Aldo menunjuk dada Susi. Ia lalu mengajak putrinya berdoa. Setelah itu, mereka berjalan kembali ke tempat parkir.

"Daddy, boleh kapan-kapan kita ke sini lagi?"

"Tentu, sayang." Aldo menuntun gadis kecil itu.

"Daddy, apakah suatu hari nanti Susi bisa jadi malaikat dan tinggal di surga sehingga bisa melihat Mommy?"

"Tentu saja. Pada waktunya nanti, kamu akan menjadi malaikat yang cantik, sama seperti Mommy."

"Aku jadi tidak sabar!" seru Susi ceria.

"Ya, Daddy juga." Aldo tersenyum.


Komentar