Alhamdulillah, Tuhan Mendengar Doaku



Akhirnya aku menyandang predikat sebagai anak tunggal di keluarga. Mengapa kusebut akhirnya, karena semestinya aku memiliki kakak dan adik laki-laki, tetapi sayangnya mereka meninggal di dalam kandungan. Kata dokter, kandungan ibuku lemah, dan janin laki-laki lebih rentan untuk bertahan dalam kandungan. Untuk bisa mendapatkan aku saja, Ayah dan Ibuku harus menunggu sampai delapan tahun umur pernikahan mereka.

Menjadi anak semata wayang, apalagi ditambah sebagai anak perempuan membuat kedua orangtuaku sering berlebih dalam melimpahkan kasih sayang. Mereka banyak memberikan aturan-aturan yang membuatku jadi penakut sekaligus penurut. Sejak kecil aku lebih dekat dengan Ibu. Hal itu dapat dimaklumi karena Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa, sementara Ayahku seorang wirausahawan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.

Ibuku dengan sifat supelnya disukai oleh banyak orang. Para tetangga maupun saudara kerap datang ke rumah, dari yang sekedar bermain sampai curhat masalah keluarga, sekaligus mendapatkan bonus makanan spesial buatan Ibuku. Ya, Ibuku memang pandai memasak dan membuat kue. Beliau gemar memasak sejak remaja. Kelezatan makanan buatannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Sayangnya bakat ini tidak menurun padaku. Aku lebih senang menghabiskan waktu luang dengan membaca buku, menulis atau mendesain ulang tata letak rumah daripada mengolah kue-kue atau sekedar membuat sarapan untuk keluarga.

Kedekatan yang 'sangat' dengan Ibu membuahkan panggilan akrab 'Anak Mama' untukku. Julukan yang sebetulnya tidak kusukai ini kudapat dari orang-orang terdekatku karena mereka melihat betapa aku tidak bisa dipisahkan dari Ibuku. Jadi tidak heran jika aku pergi tanpa Ibu atau sebaliknya, pasti orang-orang akan bertanya "Kok tumben nggak bareng Ibunya, Mbak?" atau "Bu, kok sendirian? Anaknya mana?"

Kalau aku pergi sendiri, Ibu tidak pernah absen meneleponku. Pernah suatu ketika Ibu pergi ke luar kota hanya dengan Ayah, aku tinggal di rumah karena tidak bisa meninggalkan ujian sekolah. Apa yang terjadi? Dua hari Ibu pergi, dua hari juga beliau tidak makan. Kata Ayah, ketika sedang makan, Ibu malah nangis ingat padaku.

Seiring bertambahnya umur, bertambah pula kesibukanku, kedekatanku dengan Ibu semakin berkurang. Sampai suatu ketika Ibu sakit parah. Beliau depresi berat karena merasa tidak memiliki teman berbagi lagi. Apalagi tetangga-tetangga di rumah kami yang sekarang lebih individual daripada tetangga di rumah lama. Ayah semakin sibuk dengan pekerjaannya sementara aku sibuk mengurus skripsiku. Tak heran jika Ibuku yang suka bergaul jadi kesepian.

Beliau sering bicara sendiri, menangis, tertawa dan meracau tidak jelas, bahkan terkadang mengamuk sampai aku dan Ayah ketakutan dibuatnya. Saudara-saudaraku sampai datang dan menangis mendengar kabar kesehatan jiwa Ibu yang terganggu itu.

Tentu saja aku adalah orang yang paling sedih melihat kondisi beliau, karena selama ini akulah yang paling dekat dengan Ibu. Yang membuatku tambah sedih, Ayah dan Pamanku kemudian memutuskan Ibu ke rumah sakit jiwa. Mereka bilang Ibu perlu diberi obat penenang agar kondisinya lebih baik. Aku hanya bisa menangis mendengar hal itu. Di satu sisi aku tidak mau Ibu masuk rumah sakit jiwa, di sisi lain aku juga ingin kondisi Ibu menjadi lebih baik.

Aku jadi teringat semua kenanganku bersama Ibu. Aku rindu pergi bersamanya, rindu bercerita dengannya, rindu masakan buatannya. Kini baru kusadari betapa besar kasih sayang dan perhatian Ibu padaku. Beliau rela melakukan apa pun demi aku anak semata wayangnya yang sangat ia cintai. Dalam sholatku, aku tidak pernah berhenti berdoa agar Tuhan menyembuhkan Ibu.

Alhamdulillah Tuhan mendengar doaku. Sebelum Ibu sempat dimasukkan ke rumah sakit jiwa, aku mendapat informasi dari seorang teman kalau ada seseorang yang bisa membantu mengobati penyakit seperti yang dialami Ibu. Aku langsung menghubungi orang tersebut. Alhamdulillah, berkat izin Tuhan perlahan-lahan kesadaran Ibuku pulih kembali. Tiga bulan kemudian aku berhasil lulus sidang skripsiku dengan baik. Ketika aku diwisuda kulihat raut wajah Ibu dan Ayah tampak sangat bahagia. Ibu tidak henti-hentinya memberi ucapan selamat padaku. Lalu ia memelukku erat seraya meneteskan air mata bahagianya. Aku pun lirih berbisik padanya: "Terima kasih Ibu untuk cintamu...."


Komentar