Selama di Mall, Sinta tidak Belanja Apa pun



Mata Sinta terbelalak. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya yang sedang memegang selembar kertas bergetar.

"Aduh, celaka!" serunya.

"Bagaimana aku melunasi semua tagihan ini? Bisa saja sih dicicil ... tapi nanti malah kena denda bunga," gumamnya dengan bingung.

Dia teringat, untuk melunasi tagihan bulan kemarin saja, ia harus berhutang kepada Mas Broto.  Itu juga membuat dirinya sampai dimarahi oleh Mbak Sari.

Pasalnya, Sinta terkenal boros. Mbak Sari sempat tidak percaya kalau dia bakal melunasi utang-utangnya. Untung ada Mas Broto, suami Mbak Sari yang mau membantunya dengan ikhlas.

Tanpa peduli dengan protes Mbak Sari - yang menganggap bahwa suaminya terlalu memanjakan Sinta - Mas Broto mentransfer sejumlah uang ke rekening Sinta. Tapi, supaya Mbak Sari berhenti mengomel, Mas Broto mewajibkan Sinta untuk melunasi utangnya kelak.

"Aduh, kenapa utangku banyak amat yaaa!" keluh Sinta lagi. Kepalanya sibuk mengkalkulasi total utang yang dia miliki. Ia juga sibuk memutar otak untuk menemukan cara melunasi utang-utang tersebut, tanpa harus minta bantuan orangtua atau merepotkan Mas Broto.

"Yes! Aku tahu!" Setelah berpikir sejenak, Sinta menjentikkan jarinya. Sebuah ide muncul di kepalanya.

"Tuh, udah gue transfer! Bayarnya jangan lama-lama ya!" ujar Widya begitu secarik kertas kecil keluar dari mesin ATM. 

Sambil menyimpan kartu ATM-nya kembali ke dompet, Widya berujar, "Itu tabungan gue selama hampir setengah tahun. Kalo nyokap gue tahu tabungan gue nyaris ludes ... Ugh! Abis deh gue dibantai."

"Makasih banget, Wid!" seru Sinta sambil memeluk sahabatnya erat. "Lo emang sohib gue yang paling baik sedunia! Dengan uang pinjaman ini, gue bisa melunasi tagihan kartu kredit gue dan membayar utang gue sama Mas Broto."

"Gue janji bakal balikin duit lo segera, tapi ... dicicil, ya?" pinta Sinta dengan ekspresi memelas.

Widya menghela napas. Dilepasnya pelukan Sinta. "No problemo. Asal ingat ... bunganya 20 persen!" katanya kalem.

"Hah? Gila aja lo! Kalau nggak mau minjemin bilang aja. Jangan jadi lintah, dong!" sahut Sinta sambil cemberut.

Widya terkikik. "Just kidding, Sin." Dirangkulnya bahu sahabatnya.

"Ya ampun, Wid ... Lo tuh ya, bikin gue sport jantung aja!" kata Sinta. Dia lantas menarik napas lega.

"Makanya, jangan boros! Mentang-mentang dikasih kartu kredit sama orangtua, lupa diri deh. Belum bisa cari duit, tapi sudah hobi belanja. Gimana kalau sudah punya penghasilan sendiri. Eh, tapi kalaupun nanti lo sudah bisa cari duit sendiri, juga nggak boleh boros. Boros itu pangkal kemiskinan!" nasihat Widya sok tua.

"Iya, iya. Bawel, ah! Gue sudah kapok, kok. Gue janji akan menjalankan aksi hemat supaya gue bisa segera lunasin utang gue ke lo," kata Sinta dengan mantap.

Ternyata tidak mudah bagi Sinta menerapkan aksi "kencangkan ikat pinggang" yang dia canangkan sendiri.

Dia yang biasanya pergi ke mall setiap akhir pekan kini harus berusaha setengah mati untuk meredam keinginannya

 Apalagi, teman-teman satu gengnya punya hobi belanja ke mall. Kalau bukan karena Widya yang mengingatkannya dan menasihatinya berulang-ulang, mungkin aksi hematnya sudah batal sejak lama.

"Gue cuma mau cuci mata, kok. Bukan belanja," gerutu Sinta sebal ketika Widya kembali melarangnya pergi ke mall.

"Cuci mata? Nggak percaya!" sahut Widya sambil tersenyum geli melihat wajah masam Sinta.

"Yang ada juga lapar mata. Saking laparnya lalu jadi borong," lanjut Widya. "Buntut-buntutnya, lo utang lagi. Padahal, utang lo sama gue aja belum lunas."

Diingatkan masalah utangnya, Sinta pun terdiam. Apa yang dikatakan Widya memang benar. Daripada dia tergiur dengan barang-barang yang sedang diobral padahal dia masih punya utang, lebih baik saat ini ia jangan ke mall dulu, kecuali utangnya kepada Widya sudah lunas.

Alhasil, Sinta hanya bisa gigit jari saat melihat teman-temannya berhura-hura di mall.

"Sin, kita ke mall, yuk! Lagi ada sale, lho!" ajak Widya sekonyong-konyong. Saat itu, Widya dan Sinta sedang menikmati mie goreng di kantin sekolah.

"Ogah! Minggu ini gue sibuk," tolak Sinta sebelum menyuapkan sesendok mie ke dalam mulutnya.

"Gaya lo!" canda Widya sambil mendorong pelan bahu sahabatnya. "Utang lo kan sudah lunas semua, Sin. Jadi, aksi hemat lo sudah bisa distop. Terus terang, gue merasa kehilangan teman jalan-jalan ke mall, nih."

"Lo tuh jadi orang nggak konsisten, ya. Dulu, gue dilarang ke mall. Sekarang, malah dikomporin. Lo mau gue utang lagi ke lo?" kata Sinta.

"Ya nggaklah. Gue cuma pengen lo refreshing sedikit," ujar Widya. "Lo kan sudah cukup menderita dengan aksi hemat lo selama ini. So, sekarang waktunya untuk bersenang-senang ... selama lo nggak belanja  jor-joran aja."

"Gue nggak menderita kok. Eh, iya sih ... pada awalnya. Tapi, sekarang gue sudah biasa tuh!" kata Sinta sambil menyeka bibirnya yang berminyak dengan selembar tisu.

"Gue turut prihatin sama derita lo, Sin," Widya menepuk-nepuk bahu sahabatnya. "Makanya, sekarang gue ajak lo ke mall. Selain untuk refreshing, gue juga mau nguji iman lo. Apakah seorang Sinta masih bisa tergoda setan belanja?"

"Hmm, boleh juga. Tapi kalau ujian iman gue berhasil, hadiahnya gaun, ya?" 

"Traktir makan aja, deh."

"Gue maunya gaun."

"Oke, tapi kalau lo yang kalah, lo yang beliin gue gaun.'

Sinta menatap gaun barunya dengan wajah sumringah. Widya kalah telak. Selama di mall, Sinta sama sekali tidak belanja apa pun.

Kok, bisa? Iya, karena uang tunai yang ia bawa di dalam dompetnya hanya cukup untuk membeli semangkuk bakso. Sementara itu, kartu ATM dan kartu kreditnya tidak ia bawa.

"Gue yakin, lo bakal tergoda kalau di dompet lo ada kartu kredit dan kartu ATM," kata Widya yang merasa tak rela dengan kekalahannya.

"Minggu depan kita ke mall lagi, deh. Semua kartu gue akan gue bawa. Kita lihat, seberapa kuat iman gue," tantang Sinta sambil tertawa.

"Ayo, siapa takut?" sahut Widya sambil ikut tertawa.

Rupanya, Sinta benar-benar sudah sembuh total dari penyakit gila belanja yang dulu ia miliki.

Selama tiga jam lebih ia dan Widya berkeliling mall, hati Sinta sama sekali tidak tergoyahkan oleh tawaran diskon yang tersebar di berbagai penjuru. Sebaliknya, Sinta malah sibuk berbelanja sayur di supermarket.

"Sejak kapan lo jadi berubah kaya emak-emak begini, Sin,?" tanya Widya terheran-heran melihat perubahan pada diri sahabatnya. Ditatapnya Sinta yang tampak sibuk memilih-milih batang jahe.

"Sejak menjalankan aksi hemat," sahut Sinta singkat sambil memasukkan beberapa potong jahe ke dalam kantong plastik.

"Maksud lo?"

"Yaaah ... selama ngejalanin aksi hemat, gue kan lebih banyak di rumah. Nah, daripada bete karena nggak bisa apa-apa, gue belajar masak deh sama nyokap."

"Oh, gitu. Pantesan lo jadi pinter milih sayur."

"Iya, dong. Bahkan, gue sekarang sudah bisa membedakan lengkuas sama jahe, lho," kata Sinta sambil tersenyum bangga.

Widya tertawa. Siapa sangka, Miss Shopaholic bisa berubah!


Komentar