Mengapa Empati Terus Tergerus?



Kehidupan masyarakat modern yang kian individualistis membuat empati kian terkikis. Waktunya kembali tumbuhkan empati dalam diri.



Inilah fenomena yang kini lumrah ditemui: Orang yang asyik sendiri dengan gadget meski sedang berkumpul dengan teman atau keluarga.

Bahkan, di tempat umum pun, kita memilih menghabiskan waktu dengan menatap gadget alih-alih mengamati lingkungan sekitar, hingga abai jika terjadi sesuatu pada orang atau lingkungan.

Ya, individualisme tampaknya semakin marak di era digital, ketika gadget dan internet mendominasi waktu dan perhatian kita. Akibatnya, kemampuan untuk berelasi sosial dan menampilkan empati kurang terasa.

Hal tersebut diungkapkan Sinta Mira, M.Psi, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya. Menurutnya, kini kian banyak orang yang menganggap kemampuan sosial bukan hal yang penting, selama ia bisa mencapai prestasi, keuntungan, atau keberhasilan.

"Kemampuan berinteraksi sosial semakin dinomorduakan. Padahal, dalam mencapai kesuksesan, sangat dibutuhkan kemampuan sosial yang baik dan empatik," ujar Sinta.

Empati, menurut Sinta, adalah kemampuan untuk memahami kondisi orang lain melalui sudut pandang orang tersebut.

"Empati bisa dirasakan saat kita berinteraksi dengan orang lain. Bisa saat melihat, mengobrol atau apa pun bentuk interaksi sosial lainnya. Saat berinteraksi, empati membuat kita bisa memahami orang lain dari sudut pandangnya," papar Sinta.

Sementara itu, Emma Indirawati, S.Psi., M.Psi., staf pengajar Fakultas Psikologi & Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, menjelaskan empati sebagai rasa peduli terhadap sesama.

"Ini berarti memahami persepsi orang lain, atau memandang sesuatu dari kacamata orang lain. Orang yang empati bukan orang yang acuh, melainkan peduli terhadap sesama," terang Emma.



Empati memiliki fungsi merekatkan hubungan kita dengan orang lain.

"Empati sangat penting, sebab ini salah satu sifat baik yang akan kembali ke diri kita sendiri," tegas Emma. "Saat melakukan sesuatu yang baik, kesannya kita berkorban untuk orang lain, tapi sejatinya kita sedang meningkatkan derajat kita dari sisi kualitas diri dan kualitas hidup di mata Tuhan."

Dalam kehidupan bermasyarakat, Sinta melihat bahwa bentuk empati bisa berupa gerakan untuk menginspirasi orang lain. Jadi, kita bisa menularkan empati kita kepada orang lain, dan menjadi efek domino yang bisa menggerakkan banyak orang.

Psikolog dari VIDA Rumah Konsultasi ini menyampaikan parameter seseorang yang memiliki empati biasanya terlihat dari kemampuan sosialnya yang baik. Ini bisa dilihat dari teman-teman yang dimiliki dan kualitas relasi yang baik dengan teman-temannya tersebut.

Selain itu, Anda bisa menilai apakah ia juga ramah terhadap orang lain, serta terbuka untuk berkenalan dan membuka relasi dengan orang lain. Orang lain pun merasa senang dan nyaman berteman dengannya.



Sebagai makhluk sosial, manusia tak dapat hidup sendiri. Namun, seiring perkembangan zaman dan teknologi, sifat individualistis seakan tak dapat dihindari.

Nah, di sinilah empati berguna untuk membantu manusia bersosialisasi, serta menjalin relasi yang baik dan berkualitas dengan orang lain. Ketika seseorang bisa memahami sudut pandang orang lain, relasi yang terjalin akan menjadi relasi yang positif.

Contoh, kalau kita tidak mengenal dan jarang bertemu tetangga, saat mobil tetangga menyerempet pagar rumah, kita langsung mengomel dan menciptakan konflik dengan tetangga. Tetapi, saat kita mengenal tetangga dan sering bertegur sapa, kita bisa lebih memaklumi dan memahami perbuatannya.

"Di sinilah empati muncul, dengan memahami sudut pandang tetangga dalam perihal sempitnya akses masuk ke garasi rumahnya, misalnya. Dengan empati, potensi konflik bisa dihindari, bahkan bisa mencari solusi bersama," ujar Sinta.



"Tidak ada kata terlambat untuk mengembangkan empati, selama kita ingin menjalin relasi yang baik dengan orang lain," tegas Sinta.

Mengasah empati dilakukan dalam konteks interaksi sosial dengan orang lain. Menumbuhkan empati merupakan perjalanan sepanjang hidup yang berawal dari rumah, dan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kedua psikolog ini menekankan bahwa empati berbeda dengan ikut campur urusan orang lain. Saat kita berempati, kita tahu batas-batasnya karena kita memahami sudut pandang orang tersebut.

"Empati bahkan bisa membantu kita menjalin interaksi yang sama-sama baik dengan orang lain. Bukan mencampuri urusannya," tegas Sinta.

"Ada batasan tipis antara empati dan kepo. Dalam berempati, kita bersikap tulus dan tidak menginterogasi. Sebaliknya, ketika kita kepo, interogasinya menjurus pada rasa mau tahu," Emma menimpali.

"Dalam empati, kita tahu proporsinya, kapan melewati batas. Jangan terlalu jauh mencampuri urusan orang lain. Kalau sudah berlebihan, maka empatinya sudah cenderung menjurus ke ikut campur atau intervensi," tegasnya lagi.



Satu hal yang pasti, tegas Emma, empati bukanlah bawaan lahir atau dipengaruhi faktor genetika.

Sebaliknya, empati bisa distimulasi oleh lingkungan, terutama orang tua dan keluarga, juga lingkungan pergaulan.

"Sebenarnya, ketika kita sudah cukup dewasa, kita bisa melatih rasa empati kita sendiri. Misalnya, ketika merasa ada yang tidak pas di lingkungan sekitar, lalu kita turun tangan untuk memperbaiki. Ini sudah merupakan bentuk latihan untuk menumbuhkan empati," pungkas Emma.


Mengapa Empati Terus Tergerus?

Ego
Ketika orang "bertarung" dengan kepentingan individu masing-masing, ketika itulah empati berkurang. Ini karena yang dimunculkan adalah ego masing-masing.

Lingkungan
Ketika lingkungan tempat kita hidup dan bekerja terdiri dari orang-orang yang sibuk dengan kepentingan masing-masing, maka secara tidak langsung kita pun akan ikut terbawa arus tersebut.


Strategi Kembangkan Empati

Belajar Mendengarkan
Saat berinteraksi dengan orang lain, biasakan untuk mendengarkan. Pahami apa yang dikatakan orang lain tanpa memaksakan pendapat kita terlebih dahulu.

Pahami Emosi Diri
Kecerdasan emosi berperan penting dalam mengembangkan empati. Ini bisa dilatih dengan mengenali dan memahami emosi yang kita rasakan. Semakin kita terlatih dalam mengenali emosi diri sendiri, semakin peka pula kita dalam merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Berinteraksilah
Kita tidak bisa berlatih empati hanya dengan duduk sendirian di dalam kamar. Sebaliknya, kita harus keluar rumah dan berinteraksi dengan berbagai tipe manusia untuk melihat bahwa manusia itu sangat beragam. Naiklah angkutan umum, pergi ke tempat keramaian, berkumpul bersama teman atau tetangga, atau ikuti kegiatan yang memungkinkan kita bertemu kenalan baru.

Amati dan Observasi
Berlatihlah untuk mengamati dan mengobservasi apa yang terjadi. Saat berada bersama-sama orang lain atau di tempat keramaian, coba amati apa yang terjadi di sekitar Anda. Saat ini, kita lebih suka asyik sendiri dengan gadget sehingga kurang mengamati keadaan di sekeliling. Padahal, untuk melatih empati, mengamati keadaan di sekeliling menjadi hal penting, karena kita bisa melihat dan memahami apa yang dibutuhkan orang lain di sekeliling kita.


Komentar