Membangun Kedekatan dengan Anak Sambung



Menikah dengan pasangan yang sudah memiliki anak membawa dinamika tersendiri. Salah satunya, membangun relasi dengan anak sambung.

Kedekatan Sinta dengan Bunda, sebutan untuk ibu tirinya, patut diacungi jempol. Meski baru bertemu saat Sinta sudah berusia enam tahun, chemistry di antara keduanya tampak alami, layaknya ibu dan anak kandung.

Gadis cilik itu merasa bersyukur bisa memiliki sosok ibu yang perhatian dan menyayanginya setulus hati. Pun sebaliknya, Bunda-nya merasa beruntung dapat memiliki anak yang menerima kehadiran dirinya.

Ini tentu tak lepas dari proses pendekatan yang tidak mudah, karena menjalin kedekatan dengan anak dari pasangan memerlukan strategi tersendiri. Hal ini diakui Ayoe Utomo, M.Psi., Psikolog, dari Citra Ardhita Psychological Services.

"Menjalin kedekatan dengan anak sambung menuntut sejumlah strategi. Di sinilah dibutuhkan kedewasaan orangtua. Pendekatan di awal sangat penting, karena itu pastikan anak siap menerima orangtua sambung. Pendekatan yang salah akan berbuntut panjang," papar Ayoe.

Pendapat senada disampaikan Ade Dian Komala, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis anak dan remaja di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita.

"Tidak ada orangtua yang bisa langsung dekat dengan anak, begitu pula sebaliknya. Semua butuh proses. Anak pun membutuhkan waktu untuk mengenal orang baru yang masuk ke dalam dunianya," ujar Ade.

Menurutnya, anak dengan usia lebih muda lebih mudah menerima orang baru dan membangun kedekatan. Ini karena kemampuan kognitif yang cenderung lebih sederhana membuatnya tidak memiliki pikiran rumit bila dibandingkan anak yang lebih besar.

Mendekati anak usia remaja akan lebih sulit karena mereka cenderung lebih tertutup, dan kemampuan kognitif mereka jauh lebih berkembang. Mereka memiliki tanda tanya dan kecemasan, sehingga butuh waktu untuk menerima situasi baru. Pintu masuknya? Melalui diskusi.

Selain usia, kepribadian anak juga memengaruhi terbangunnya kedekatan.

Anak yang dibesarkan dengan pola asuh kedekatan yang tidak hangat umumnya menjadi pribadi insecure, yang lebih sulit percaya kepada orang baru. Sebaliknya, anak dengan pola asuh yang hangat lebih mudah menerima orang baru.

Begitu juga jenis kelamin. Anak laki-laki biasanya lebih mudah menerima orangtua sambung laki-laki dibanding anak perempuan, yang biasanya kurang nyaman dengan kedekatan fisik dengan ayah sambung. Baik anak laki-laki maupun perempuan lebih mudah dekat dengan ibu sambung.

Ayoe mengingatkan, orangtua sambung perlu paham sampai sejauh mana si anak membutuhkan kehadiran dia di sampingnya.

"Jangan kebablasan mengambil semua peran. Misalnya, Anda tidak perlu cemburu ketika si anak menemui atau mengunjungi orangtua kandungnya. Penting bagi orangtua sambung untuk menyadari posisi dan porsinya," tegas Ayoe.

Ade menilai, harapan yang terlalu tinggi untuk langsung diterima dengan anak-anak membuat orangtua sambung sering kali memaksakan diri untuk langsung dekat dengan anak. Hal ini justru acap kali membuat anak merasa tidak nyaman, bahkan menjauh.

Sebaliknya, ketakutan orangtua sambung dianggap sebagai "orang asing", membuatnya canggung untuk mendekati anak-anak. Sehingga membuatnya berjarak dengan anak-anak tersebut.

"Berpikirlah positif, sabar dan yakini bahwa sebuah kedekatan membutuhkan waktu. Ini dapat membantu orangtua sambung untuk menjadi lebih tenang dalam menghadapi proses adaptasi dengan keluarga baru," Ade mengingatkan.

Menurut Ade, problem lazim yang dihadapi oleh orangtua dan anak sambung antara lain masalah perbedaan kebiasaan sehari-hari, serta perbedaan pola disiplin antara pola asuh sebelumnya dengan pola asuh yang baru. Selain itu, anak kadang masih membedakan atau membandingkan antara orangtua kandung dengan orangtua sambung.

Ayoe menambahkan, tantangannya menjadi lebih berat manakala perceraian yang dialami sebelumnya tidaklah sehat. Umumnya, masih ada harapan dari salah satu pihak untuk tidak menerima kebahagiaan dari mantan pasangan, dan mungkin menggunakan anak sebagai "alat" untuk membuat kehidupan mantan pasangan tidak sejahtera. Karena itu, libatkan anak sejak awal dekat dengan seseorang, lihat reaksinya, dan ajak ia bicara sesuai usianya.

Ini masih ditambah dengan ekspektasi keluarga besar, yang memiliki harapan tersendiri tentang gaya pengasuhan sang orangtua sambung. Kalau tidak sesuai dengan harapan, maka ini bisa jadi potensi konflik, terlebih bila tidak diikuti kedewasaan pola pikir.

Oleh karena itu, pastikan proses adaptasi berjalan lancar dan orangtua sambung berhasil menyelaraskan ritme yang ada di keluarga. Siapkan diri menghadapi ekspektasi-ekspektasi, baik dari anak maupun orangtua sambung.

Bicara orangtua kandung, kedua psikolog ini sepakat bahwa perannya sangat strategis sebagai jembatan antara anak dan pasangan barunya.

"Orangtua kandung bisa menjadi penengah, dan sikap terbaik adalah membangun kedekatan dan mengomunikasikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak maupun pasangan barunya. Sampaikan pada anak sejak awal, akan ada orang baru di keluarga, tapi bukan untuk menggantikan orangtua kandung," saran Ayoe.

"Jalinlah komunikasi dengan anak, tanyakan bagaimana perasaan dan tanggapannya mengenai orangtua sambung tersebut, apa yang diharapkan, dan sebagainya," Ade menambahkan.

Hal ini penting, Ade mengingatkan, agar anak merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sejak awal, perkenalkan calon pasangan pada anak-anak agar kedekatan dibina lebih awal, sehingga anak tidak kaget jika orangtua berencana menikah lagi.

Ade menegaskan bahwa orangtua sambung dapat mengambil peran sebagai teman atau penasihat, ketimbang sebagai pihak otoritas yang menerapkan disiplin. Kelak, saat hubungan dengan anak sudah jauh lebih dekat, baru orangtua sambung mulai dapat menjalankan disiplin.

Selain itu, penting bagi orangtua sambung untuk memberi anak kesempatan bertemu orangtua kandung. Berikan pengertian pada anak, bahwa orangtua sambung bukan menggantikan posisi orangtua kandung, namun menjadi orang baru yang juga mencintai dan mendukung mereka.

Bagaimana jika konflik terjadi? Ayoe menegaskan agar orangtua dan anak sambung tidak berseteru secara head to head. Orangtua kandung bisa mengatakan pada pasangan barunya, ketika ia jengkel pada anak, jangan sampaikan ke dia, tapi ke saya.

"Sama juga ketika si anak yang kesal, beri tahu ia agar jangan langsung mengonfrontasi orangtua sambung, tapi ke ayah atau ibu kandung dahulu. Setelah itu, dengarkan dari sisi anak maupun pasangan, dan nasihatilah masing-masing secara terpisah dengan lembut," saran Ayoe.

"Jadilah mediator yang objektif dan tidak memihak keduanya."

Pada intinya, pandanglah anak dan orangtua sambung sebagai dua orang yang sama-sama disayangi dan harus dipersatukan, bukan sebaliknya.

Karena itu, Ayoe kembali mengingatkan, proses masuknya pasangan ke dalam keluarga harus tepat. Bagaimanapun, kita akan melewati hari-hari bersama mereka, atau akan ada beberapa waktu di mana mereka akan bersama-sama, misalnya saat liburan atau acara keluarga.

Tentu, akan ideal ketika relasi orangtua dan anak sambung bisa tersambung dengan baik, yakni ketika mereka bisa merasa nyaman dan tidak terganggu dengan kehadiran yang lain.


Faktor Pendukung Relasi Anak Sambung

* Keterbukaan atau ketersediaan anak dalam menerima orangtua sambung.
* Kesiapan orangtua sambung untuk berbesar hati menerima segala konsekuensi dari memiliki anak sambung.
* Pemahaman orangtua sambung terhadap kebutuhan anak.
* Terbangunnya komunikasi antara orangtua dan anak sejak proses masuknya orangtua sambung dalam keluarga. Untuk membuka komunikasi, lakukanlah berbagai kegiatan bersama.
* Keterlibatan orangtua sambung dalam aktivitas keseharian anak.


Komentar