Kisah Ponirin dan Suminem



"Pak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita hanya hidup berdua. Anak kita sudah dewasa dan telah menikah," tutur Suminem.

"Kita juga sudah punya cucu... tapi kenapa mereka tidak tinggal sama kita, Pak? Kita ini sudah tua lho, Pak," Suminem kembali mengajak bicara suaminya, Ponirin.

Sang suami hanya diam. Dia tampak menikmati sisa rokok yang sedari tadi ia sulut. Dia tak bisa banyak bicara. Pikirnya, memang sepatutnya anak perempuan yang telah menikah ikut suami, kan?

"Bagaimana ini, Pak?" tanya Suminem lagi.

"Aku tidak tahu, Bu," jawabnya.

"Kamu itu, tidak pernah berubah. Kalau ditanya selalu begitu. Ya pikirkan gimana caranya supaya anak kita mau tinggal disini, bersama kita," tukas Suminem.

"Mau gimana lagi, Bu... anak kita kan perempuan. Sudah sewajarnya mengikuti suaminya."

"Iya Pak, kalau itu Ibu tahu. Tapi, tidak ada salahnya kita mencoba untuk ngomong, supaya hidup kita tidak terlalu kesepian. Ada yang bantuin kita gitu lho, Pak."

"Ah, sudahlah, Bu. Kita tidak usah mendebatkan persoalan ini!"

Suminem lalu masuk ke ruang tengah untuk menonton televisi, meninggalkan Ponirin sendiri.

Terlihat dari raut wajahnya, betapa lelaki itu sangat kelelahan bekerja seharian. Sisa-sisa semangat dikumpulkannya untuk menghadapi esok yang lebih berat. Setelah menghabiskan dua batang rokok, Ponirin pun ikut masuk.

"Bu, tolong buatkan kopi ya," pintanya.

"Iya, Pak," sahut Suminem.

Ia segera membuat kopi. Tak berapa lama, kopi panas terhidang di meja.

"Terima kasih, Bu," kata suaminya.

"Iya, sama-sama, Pak," sahut Suminem.

Ponirin menyeruput kopi buatan istrinya pelan-pelan. Terasa nikmat sekali. Suminem kembali menonton televisi yang sejak tadi dinyalakan. Acara sinetron kesukaan Suminem sudah mulai tayang.

Tok tok tok.

Terdengar bunyi pintu diketok. Ponirin bergegas membuka pintu. Selekas itu pula, raut bahagia tergambar dari wajahnya.

"Bu! Bu! Coba lihat siapa yang datang," seru Ponirin.

"Siapa, Pak?" tanya Suminem sambil beranjak dari duduknya. Di depan pintu, berdirilah sosok-sosok yang dinanti-nantikannya.

"Safira," seru Suminem.

Dia tak menyangka, cucu kesayangannya tiba- tiba muncul di rumahnya. Lengkap bersama anak dan menantunya. Suminem sangat terharu.

"Neneeek!" teriak Safira seraya menghambur memeluk.

"Ayo, semuanya masuk. Jangan berdiri di luar saja. Ayo, cepat masuk," ajak Ponirin dengan tegas.

Semua orang masuk. Mereka mengobrol lama. Betapa senang hati Ponirin dan Suminem malam itu. Lantas, karena hari sudah larut, Ponirin menyarankan agar mereka semua segera tidur.

"Safira, ini sudah larut malam. Sekarang tidur dulu. Besok dilanjutkan ya," kata Suminem.

"Baik, Kek!" sahut sang cucu.

Semua bersiap untuk tidur, termasuk Ponirin dan Suminem. Malam itu, mereka tidur dengan perasaan bahagia, karena anak dan cucu mereka datang menengok.

Keesokan harinya, Suminem bangun pagi sekali.

Dia ingin memasak makanan kesukaan anak dan cucunya. Dengan bersemangat, ia pergi ke pasar. Setelah memilih dan menawar, tak lama ia sudah mendapatkan semua kebutuhannya.

Ia segera pulang. Setibanya di rumah, Suminem memasak dengan senang. Semua ia kerjakan seorang diri.

Matahari mulai merangkak naik. Anak dan cucunya mulai bangun. Segera, mereka membersihkan rumah.

Saat waktu sarapan tiba, mereka makan bersama-sama. Suasana begitu hangat. Selesai makan, mereka mengobrol santai di teras.

"Mas, gimana pekerjaanmu? Baik-baik saja, kan?" tanya Ponirin pada menantunya.

"I-i-iya, Pak," jawab si menantu tergagap. "Anu, Pak, saya ke dalam dulu."

"Oh, ya sudah sana," kata Ponirin.

Setelah beberapa waktu tinggal bersama mereka, sudah saatnya keluarga anak Ponirin dan Suminem pulang ke rumah.

"Pak, Bu. Kami pamit pulang, ya. Kami sudah merepotkan Bapak dan Ibu," kata sang menantu.

"Ya sudah, kalian hati-hati di jalan," kata Ponirin. "Jangan lupa kabari kami saat sudah sampai."

Sementara itu, Suminem tak kuasa menahan tangis. Ia melepas kepergian keluarga anaknya dengan berat hati.

Namun, setelah hari itu, mereka tak kunjung mendapat kabar dari sang anak, menantu, maupun cucu. Akhirnya, Ponirin dan Suminem hanya bisa pasrah dan mendoakan agar anak mereka dan keluarganya baik-baik saja.

Waktu terus berjalan. Kehidupan terus berputar. Hari-hari Ponirin dan Suminem diisi dengan bekerja di ladang. Setiap pagi mereka berangkat, dengan harapan bisa mengais sedikit karunia-Nya untuk bertahan hidup.

Dengan napas tersengal, Ponirin dan Suminem tiba di ladang. Mereka beristirahat sebentar untuk menghilangkan lelah. Ladang mereka tidak terlalu jauh dari rumah, namun karena faktor usia, mereka tidak berdaya seperti dulu.

"Pak, ini singkongnya dimakan dulu," Suminem menawarkan bekal yang dibawa kepada suaminya.

"Aku mau minum saja, Bu," kata Ponirin.

"Ini Pak, minumnya," dengan sigap Suminem menawarkan termos minumannya.

Setelah merasa lebih baik, mereka kembali bekerja. Ponirin mengambil cangkul, sedangkan Suminem menyiapkan biji tanaman. Mereka bekerja sama. Mereka juga tidak menyerah terhadap keadaan.

Hari mulai sore. Ponirin dan Suminem pun pulang ke rumah. Dengan sisa tenaga yang mereka miliki, mereka berjalan bersama.

Sesampainya di rumah, mereka beristirahat sejenak. Ponirin duduk di teras rumah bersama istri yang setia menemaninya hingga saat ini, sambil menikmati sisa singkong tadi pagi.

Tak lama, terlihat seseorang mendatangi rumah mereka, tapi mereka tidak mengenalinya.

"Apa benar ini rumah Ponirin?' tanya pria itu.

"Iya benar, saya Ponirin."

"Baiklah. Kalau begitu, kedatangan saya kemari untuk memberitahukan bahwa rumah Bapak telah digadaikan oleh putra Bapak, Ahmad Sugiarto," kata pria itu.

Belum lepas kekagetan Ponirin dan Suminem, pria tersebut kembali melanjutkan dengan tegas. "Untuk itu, saya mohon kepada Bapak dan Ibu agar segera mengosongkan dan meninggalkan rumah ini."

"A-apa yang dilakukan menantu saya, Pak?" tanya Ponirin terbata-bata.

"Saudara Ahmad tidak bisa mengembalikan pinjamannya." 

Betapa hancur hati Ponirin dan Suminem. Anak yang mereka harapkan pulang malah menggadaikan rumah mereka. Suminem hanya bisa menangis sambil memohon pada pria itu agar rumah mereka tidak disita.

"Memangnya... berapa banyak yang dia pinjam, Pak? tanya Ponirin dengan suara serak.

"Saudara Ahmad meminjam uang sebanyak 50 juta, dengan jaminan sertifikat rumah ini," kata pria itu. 

Suminem semakin keras menangis. Begitu pula Ponirin.


Komentar