Bila Si Kecil Kini Puber



Si kecil tak lagi tampak "kecil"? Mungkin ia mulai memasuki fase pubertas. Simak saran para pakar agar Anda bijak menyikapi perubahan yang terjadi.

Usia Sherina baru 11 tahun. Namun, siswi kelas 5 SD ini mulai menunjukkan perubahan fisik. Pubertas yang dialami telah mengantarnya beranjak meninggalkan masa kanak-kanak.

Sebagai fase transisi dari anak-anak menuju remaja, pubertas adalah tahapan tumbuh kembang ketika seorang mengalami sejumlah perubahan, baik psikologis maupun fisik - seperti kematangan tubuh dan hormon, serta organ seksual yang mulai berkembang.

Dianda Azani, M.Psi., Psikolog, dari Bileva Consulting, menegaskan bahwa karena perubahan-perubahan ini, umumnya anak mengalami kebingungan karena ada hal baru yang terjadi pada tubuh maupun psikologisnya.

"Di masa pubertas, muncul pemahaman baru pada anak bahwa usianya bertambah. Kemampuan berpikir anak juga berkembang dan mulai terbentuk penilaian terhadap diri sendiri, serta konsep diri yang baru sebagai remaja," papar Dianda.

Karena itu, kata Dianda, anak juga butuh pemahaman kenapa dirinya jadi sering emosional, untuk anak perempuan kenapa mesti memakai bra, dan mengapa perlu jaga jarak dengan teman lawan jenis.

Menyikapi pubertas anak, tiga aspek penting ditegaskan oleh Fridha Zoelkqaidawati, S.Psi., Psikolog, dari Biro Potensia Indonesia.

Pertama, orangtua perlu memahami adanya perubahan fisik dan emosi pada anak yang mulai memasuki masa pubertas. Karena itu, meski pendekatan orangtua dirasa sudah tepat saat anak masih kecil, pola tersebut mungkin perlu diubah saat anak memasuki fase pubertas.

"Kedua, dari sisi sosial, tak bisa dibantah bahwa lingkungan sosial anak pasti berubah. Ketiga, aspek kognitif pun ikut berubah, dan pemikiran anak juga kini lebih berkembang," ujar Fridha.

"Ketiga aspek inilah yang membuat orangtua perlu membedakan pendekatannya terhadap anak laki-laki maupun perempuan yang beranjak puber. Prinsipnya, lakukan pendekatan yang tepat sesuai kondisi fisik," Fridha berpesan.

Dari segi fisik dan kognitif, pubertas pada anak laki-laki maupun perempuan relatif sama. Perbedaan paling menonjol mungkin tampak dari segi sosial. Apalagi, gempuran informasi saat ini yang mudah diserap anak membuat orangtua kelimpungan.

"Orangtua mesti beradaptasi cara pengontrolan anak di zaman sekarang. Bukan diubah, melainkan diadaptasi. Jadi, orangtua tetap mendidik dan mengontrol anak sesuai tahapan perkembangan," saran Fridha.

Monitoring bisa dilakukan, lanjut Fridha, dengan memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan orangtua dalam penggunaan teknologi digital untuk hal-hal praktis, misalnya memantau anak dalam menggunakan gadget dan mengecek dia browsing apa saja.

"Selain itu, yang tak kalah penting bagi orangtua adalah membangun komunikasi yang baik dengan guru anak di sekolah. Tujuannya agar pihak sekolah juga bisa mengantisipasi cara mengawasi siswanya," imbuh Fridha.

"Peran orangtua sangat besar dalam menjelaskan hal-hal baru terkait perkembangan ini, sehingga anak mendapatkan penjelasan yang benar dari sumber yang tepat," tandas Dianda.

"Anak-anak mudah mendapatkan nilai baru dari hal baru, sehingga jika tak ada penyeimbang dari keluarga, anak bisa mengadopsi nilai-nilai dari sumber yang tidak jelas," kata Dianda. "Paparan informasi baru tanpa disertai kejelasan norma dan aturan bisa masuk dan menjadi nilai internal anak."

Dalam hal ini, menurut Dianda, kesalahan umum orangtua adalah malah memusuhi dan menjauhi anak. Padahal, saat anak beranjak puber adalah masa-masa yang sulit, dengan gejolak emosi yang naik turun.

Sering kali, orangtua justru menegur dengan sangat keras dan memandang pubertas sebagai masa menyebalkan, dan dengan sikap kesal membuat anak tidak merasa nyaman. Akhirnya, hubungan orangtua dan anak kian berjarak.

Ingat, konflik-konflik saat masa remaja ini juga krusial. Trauma-trauma yang terjadi akan diingat anak, sehingga ketika konfliknya tidak selesai dengan orangtua, secara tanpa sadar anak akan terus melakukan hal-hal yang tidak dibolehkan orangtua.

Bagaimana solusinya?

Kedua psikolog ini menegaskan pentingnya bonding atau menjalin ikatan dengan anak. Ikatan ini harus diperkuat sejak anak masih kecil, sehingga saat ia memasuki masa remaja, anak tidak lagi merasa canggung ketika menghadapi masalah dan merasa nyaman bicara dengan orangtua.

"Keterbukaan ini harus disiapkan dari kecil, agar saat remaja anak terbiasa bercerita pada orangtua, tidak gundah gulana sendirian karena tidak siap menghadapi situasi dan kondisi saat pubertas," Dianda berpesan.

Nah, setelah bonding terbangun dengan baik, berikan anak kepercayaan bahwa ia bisa mengatasi berbagai perubahan dan problem yang terjadi. Masa remaja memang masa di mana orangtua perlu memberikan kepercayaan besar pada anak.

Tentu, orangtua harus terus mendukung dan mendampingi. Perbanyaklah dialog, karena kebutuhan anak untuk berdialog kini besar. Anak yang terbiasa diajak berdialog akan percaya bahwa orangtuanya mau mendengarkan dia.

"Idealnya, orangtua sendirilah yang menjelaskan soal pubertas pada anak-anaknya. Ingatlah pentingnya proses dialog atau komunikasi dua arah yang mesti dilatih sejak anak masih kecil," pungkas Dianda.


Bijak Hadapi Si "Pemberontak"

Kognitif
Karena kondisi remaja sedang berkembang pesat, orangtua harus memberi kesempatan pada anak untuk lebih asertif. Anak mungkin terkesan ingin membantah karena dia ingin mendapat penjelasan lebih banyak dari orangtua.

Sosial
Pergaulan sosial anak ikut berubah, baik secara positif maupun negatif. Sikapilah dengan bijak. Jangan mudah melarang anak  bergaul dengan si A atau si B, karena pertemanan tersebut dapat memberi anak kesempatan belajar berinteraksi dengan lingkungan sosial yang heterogen.

Emosional
Anak yang memasuki masa pubertas akan menjadi lebih sensitif. Perubahan mood mungkin membuatnya sulit berpikir jernih. Lagi-lagi, sikapi ini dengan bijak. Jangan menggampangkan kondisi emosi anak, dan bicaralah lebih hati-hati, karena kini anak lebih peduli terhadap rasa percaya dirinya.


Stop Salahkan Hormon

Banyak yang menganggap perilaku remaja yang negatif - seperti mencoba narkoba atau memberontak terhadap orangtua - sebagai akibat dari gejolak hormon. Namun, studi terbaru dalam Current Biology mengungkap bahwa hormon reproduksi yang berkembang saat pubertas ternyata tidak bertanggung jawab atas perubahan perilaku sosial remaja. Penelitian yang dipimpin Matthew Paul, assistant professor psikologi di University at Buffalo, ini menduga bahwa perubahan sikap anak remaja tampaknya dipicu oleh beragam faktor lain.


Panjangnya Masa Remaja

Kapan masa remaja berawal dan berakhir? Lancet Child & Adolescent Health menguak fakta mengejutkan bahwa masa remaja kini berlangsung lebih lama, yakni dimulai pada usia 10 dan berakhir pada umur 24 tahun! Menurut Profesor Susan Sawyer, direktur pusat kesehatan remaja di Royal Children's Hospital di Melbourne, peningkatan nutrisi dan akses kesehatan di nyaris seluruh populasi di dunia telah memajukan usia awal untuk pubertas. Periode transisi ke fase dewasa juga ikut menempati porsi terbesar dalam rentang kehidupan individu modern karena faktor sosial - seperti marketing dan media digital - sehingga sang remaja pun "awet muda."


Komentar