Perempuan Berusia 25 Tahun itu Menggeliat Dua Kali



Matahari meredup. Di dalam kamarnya, perempuan berusia 25 tahun itu menggeliat dua kali. Wajahnya yang bulat telur tampak lelah.

Dentang jam memberi bunyi lima kali.

Perempuan itu terkesiap. Ia duduk di tepi pembaringan dan melongok waktu yang terlewat sia-sia dalam keterpejaman mata. Kaki-kakinya bergerak gelisah saat jarum jam terus bergerak, tak mungkin menunggunya.

"Lihatlah waktumu sekarang." Perempuan itu mendengar jam itu berbisik.

"Memang, ada apa dengan waktuku?" kilah perempuan itu, sambil melirik ke arah jam di dinding. Diam-diam, ada rasa kagum pada jam dinding miliknya, yang selalu bergerak dengan detak lembut.

"Apa yang selalu kau dapatkan selama kau terlena?" tanya jam itu kembali, kali ini dengan nada sedikit sengit.

"Aku?" Perempuan itu cemberut. Ia tatap jam di dinding. Kini, jarum jam itu telah bergeser beberapa belas detik.

"Beraninya kau mengkritikku. Coba kalau tak kubeli kau dari penjaja di pinggir jalan, pasti sekarang sudah karatan," dumel perempuan itu.

Memang, perempuan itu membeli jam tersebut di kaki lima di pinggir jalan.

Ketika itu hujan rintik-rintik. Jam yang tak terurus dan tampak kuno itu menggigil dalam diam, di antara benda lain yang tak menarik perhatiannya.

Entah mengapa, begitu melihat jam itu, sang perempuan langsung jatuh hati. Benar saja. Begitu sudah dibersihkan dan dirawat, tampilan kuno dan antik jam itu pun memancar.

Perempuan itu sangat suka dengan jam kunonya. Siang dan malam, mereka selalu bersama di kamar perempuan itu, yang berukuran empat kali empat meter, di sebuah perumahan yang terletak di utara Jakarta.

Bukan itu saja. Perempuan itu merasa bahwa antara dirinya dan jam antik itu telah terjalin kedekatan. Kerap kali, ia merasa dentang dan detik jam itu seperti mengajaknya berbicara dan mengingatkan sesuatu.

Terkadang, ia merasa jam itu membawanya ke masa-masa yang telah berlalu. Masa yang memberinya rasa bahagia yang berakhir rindu tak terkira.

"Kau tak ingat, berapa waktu yang telah kita lewati bersama?" 

Terdengar kembali detak si jarum jam. Menegurnya. Menyadarkan dari lamunan akan waktu pertemuan dan kebersamaan yang telah terlewati, tanpa ada perubahan pada diri perempuan itu 

Perempuan itu tertegun. Keningnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat.

"Tiga tahun kita bersama," lanjut jam antik itu, mendahului sang perempuan yang masih sibuk berhitung waktu kebersamaan mereka.

"Ya, kau benar." Akhirnya perempuan itu setuju dengan hasil kalkulasi jam antiknya.

Ia kagum karena jam itu bukan hanya mengingatkan waktu yang berlalu, melainkan juga tahun kebersamaan mereka. Semua tak lepas dari catatan mesin jam antik, yang masih akan terus memberikan detaknya.

"Selama tiga tahun kau sia-siakan aku," keluh jam itu, kecewa.

Namun, ia tetap setia menjalankan jarumnya. Ia tak ingin mengecewakan penolong yang telah mengangkatnya dari pinggir jalan, hingga kini dia tergantung di dinding kamar yang sejuk dan bersih.

"Menyia-nyiakanmu?"  Perempuan itu terheran-heran. Keningnya mengernyit.

"Ya, karena selama itu pula, aku hanya menyaksikan kamu terlena tanpa daya. Tanpa upaya. Hanya melamun dan terkungkung dalam keluh," gumam jam itu.

Perempuan itu terkejut, menatap jarum jam yang terus bergerak. "Sebegitu lemah dan tak berdayakah aku selama ini!" serunya, seperti pada diri sendiri.

"Bangunlah dari tidur panjangmu. Jangan biarkan semangatmu tertidur," jam itu kembali bergumam. "Coba hitung mundur, berapa banyak waktu yang telah kau buang, Sobat?'

"Aku kecewa. Aku pikir, waktu kau membawaku pulang, aku akan menjadi saksi dari awal kebangkitanmu untuk berjuang kembali..."

Perempuan itu terperangah. Teguran jam itu benar. Ia memang tak lagi berkreasi dengan imajinasinya. Kreativitasnya seperti menguap entah ke mana.

Kesukaannya melukis seakan lebur seiring kepergian calon suaminya. Kuas dan kanvasnya dibiarkan membeku di sudut rumah. Kupingnya seperti tuli, tak mendengar keluh-kesah kanvas yang sudah ingin mendapat sentuhan kuas yang digerakkan tangannya, dengan energi positif yang tersalurkan dari hati nurani paling dalam.

Deretan cat dengan ragam warna pun sudah tak sabar ingin ditumpahkan ke wadah yang juga sudah lama mengering. Semua dibiarkan tak tersentuh seiring duka hatinya.

Kreativitasnya seakan pergi mengiring kematian Ari yang begitu mendadak, melukai hatinya. Sedan berkecepatan tinggi yang dikemudikan seorang pemuda yang teler karena narkoba telah memutus rencana suci mereka. Juga menjadi pengantar bagi duka panjangnya.

Saat itu, Ari tengah berada di dalam mobil pengantin. Ia tak pernah sampai untuk mendampinginya membuat janji sakral pernikahan, karena mobilnya terhantam sedan yang hilang kendali, hingga terjungkal ke dalam jurang.

Sejak saat itu, jiwa perempuan itu bagai ikut terbang meninggalkan raganya. Membiarkan dirinya hidup dalam kegamangan. Menyendiri bagai raga tak bersukma. Perempuan bagai seonggok daging tanpa denyut kehidupan.

Semua energinya menghilang. Cita dan bahagia itu tak pernah lagi singgah pada dirinya. Ia memilih hidup sepi berdiam diri, bagai perkataan "hidup segan, mati pun tak mau." Tak kuasa menolak derita berkepanjangan, itulah hidup yang dijalaninya selama ini, tanpa upaya untuk bangkit.

Dentang jam terdengar enam kali.

Dipandangnya jam yang tak pernah lelah memberi energi, supaya jarum terus berputar. Timbul rasa malu pada diri perempuan itu, saat menyadari bagaimana jam kuno tersebut tak pernah alpa memberikan perputaran waktu kepadanya.

Sepintas, senyum tipis tersungging di bibir perempuan itu. Ia merasa bangga pada jam itu. Sungguh ia sangat kerdil jika dibandingkan dengan sang penunjuk waktu.

"Aku memang lalai, tak mampu menguatkan diri sendiri. Kau benar. Tidur panjangku harus berakhir!" geram perempuan itu. Selama ini, ia telah membiarkan pikiran dan raganya terkekang dalam kekecewaan.

"Ari, kamu ingin aku tetap semangat, kan? Baiklah, aku akan melukis cinta kita di atas kanvasku. Tenanglah kau di sana."

Perempuan itu terdiam sesaat.

Ada air mata mengalir di pipinya. Tapi, tangannya segera menghapus air mata itu.

Sepi.

Tik. Tik. Tik. Tik.

Detak jarum jam mengisi kesunyian. Perempuan itu mendongak, menatap jarum jam yang terus berputar. Lantas, ia tersenyum. Detak jam terus mengiring jarum yang bergerak perlahan, namun pasti meninggalkan waktu yang akan terlewati menuju masa depan.

"Aku tahu, Sobat," seru perempuan itu sambil berdiri di depan jam yang memandangnya lekat. "Kini, aku terbangun oleh detak jarummu yang telah mengetuk dadaku."

"Tak salah aku membawamu ke rumahku, menemani hari-hariku, mengingatkanku. Kau benar, aku memang herus bangkit. Masa lalu dan derita adalah bagian dari perjalanan hidupku," lanjut perempuan itu lagi.

"Terima kasih, Sobat. Dan sekarang, aku akan melukismu, sebagai awal bagi imajinasiku yang telah kembali."


Komentar