Tindakan Apa yang Harus Dilakukan untuk Mencegah Radikalisme?



Paham-paham keagamaan yang radikal, fanatik, dan penuh kebencian terhadap sesama telah banyak menjerat anak-anak kita, bahkan juga orang dewasa. Bagaimana menangkalnya?

Di tengah ancaman narkoba dan pergaulan bebas yang membuat orangtua cemas, melihat anak-anak mereka tekun belajar agama di sekolah, pesantren, atau mesjid tentunya terasa bagai oasis yang menyejukkan dan menenangkan. Orangtua mana sih, yang keberatan anaknya mempelajari agama?

Sayangnya, rasa aman itu kini justru berbalik jadi kekhawatiran baru. Makin hari makin banyak saja anak-anak dan remaja - bahkan juga orang dewasa - yang terperangkap dalam jeratan paham-paham keagamaan yang radikal dan fanatik. Bukannya menjadi penuh kasih, mereka justru tumbuh menjadi manusia yang penuh kebencian terhadap sesama, mengkafirkan semua orang yang tidak sepaham, bahkan rela membunuh hanya demi 'membela' keyakinan mereka.

Demi keyakinan itu pula, mereka nekat kabur dari rumah, memusuhi, membohongi, bahkan 'membobol' harta orangtua untuk mendanai 'perjuangan suci' mereka. Semua itu akibat doktrin yang ditanamkan ke otak mereka yang masih labil oleh kelompok-kelompok yang memiliki ambisi tertentu.

Tindakan apa yang harus dilakukan orangtua untuk menangkal pengaruh fanatik semacam itu? Bagaimana pula bila anak kita sudah kadung terperangkap di dalamnya.

Bagaimana pendapat Ratna Djuwita, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tentang hal ini:

Sebagai orangtua, kita pasti berharap anak-anak kita kelak tumbuh sebagai anak yang saleh dan bertakwa kepada Tuhan. Tapi, sejauh mana suami-istri benar-benar membicarakan dan memutuskan nilai-nilai konkret seperti apa yang akan mereka turunkan kepada anak-anak?

Akibatnya, banyak dari kita hanya menyuruh anak-anak untuk salat atau berpuasa, tanpa menjelaskan mengapa dan untuk apa mereka melakukannya, kita menakut-nakuti, "Kalau tidak salat, nanti kamu masuk neraka." Kita malah kerap lupa memperkenalkan Tuhan dan agama sumber kasih sayang dan rasa damai. Akibatnya, tak jarang anak jadi bingung, mana sebetulnya yang benar?

Apalagi kalau saat itu kondisi psikologisnya sedang labil, misalnya karena memendam kekecewaan di rumah. Bila pada momen itu muncul pihak yang mampu memenuhi kebutuhan batinnya (bisa seorang guru agama, pelatih sepakbola, atau tetangga yang ramah), maka dia bisa serta merta percaya buta dan bersikap fanatik terhadap orang tersebut, dan dengan begitu menjadi sangat mudah dipengaruhi.

Celakanya, sebagai orangtua kita sering kali percaya 'tanpa syarat' bahwa apa pun yang dilakukan anak-anak kita di sekolah, di pesantren, atau di mesjid pastilah baik. Apalagi kalau kegiatan yang mereka lakukan adalah memahami agama. Namun faktanya semua itu kini juga tidak aman lagi.

Bukannya saya mengajak untuk berburuk sangka, tapi sebaiknya kini orangtua tidak lagi mengambil sikap take for granted, melainkan harus mulai ikut aktif memantau dan mengawasi. Sebelum mendaftarkan anak ke suatu sekolah, misalnya, tak ada salahnya kita mencari tahu dulu tentang latar belakang guru-guru mereka, termasuk jika ada pergantian guru, serta ikut mengenal teman atau orang-orang baru dalam pergaulan anak.

Mengembangkan sikap kritis dalam keluarga juga harus dikembangkan, termasuk dalam membicarakan agama. Jangan memperlakukan agama sebagai sesuatu yang 'haram' untuk dikritisi oleh anak, melainkan ajaklah dia mendiskusikannya, meski Anda tidak selalu setuju dengan pendapatnya. Perkenalkan mereka lingkungan yang heterogen (suku, agama, ras), agar sejak dini mereka akrab dengan perbedaan.


Komentar