Kehilangan orang tercinta merupakan peristiwa kehidupan yang berisiko memicu stres panjang. Kala kedukaan datang, apa yang harus dilakukan?
Dunia seakan runtuh ketika orang yang disayang pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Memang, tak mudah melewati saat-saat penuh duka. Perasaan tak berdaya, sirnanya semangat, bahkan harapan hidup yang tiba-tiba pupus seiring kepergian orang tercinta membuat kita kian larut dalam duka.
Ariny Oktaviany M.Psi., Psikolog, dari Yayasan Pulih, menjelaskan bahwa dukacita adalah respons normal yang terjadi secara alami sebagai akibat dari kehilangan orang terdekat.
"Respons yang diberikan setiap individu bisa berbeda. Namun, reaksi awal umumnya sama, yaitu terkejut, sedih, merasa kosong, kecewa, dan tidak berdaya," jelas Ariny.
"Cara mengekspresikan emosi pun berbeda. Kaum pria biasanya berupaya menyembunyikan perasaan dengan lebih banyak diam dan menarik diri, sedangkan perempuan lebih ekspresif, seperti menangis dan berteriak," papar Ariny.
Berapa lama umumnya orang berduka?
Menurut Palupi Maulia Andari, M.Psi., Psikolog, dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, dalam ilmu psikologi dikenal lima tahapan dalam berduka, yakni penyangkalan, kemarahan, menawar, depresi, dan menerima.
"Pada tahapan terakhir, baru seseorang akan mulai menerima kehilangan orang yang dicintainya. Ia mulai berpikir bahwa hidup harus terus berlanjut," ujar Palupi.
Nah, kedukaan yang dialami seseorang bisa berlangsung lama atau bahkan menetap ketika ia masih kembali ke tahapan-tahapan sebelumnya, seperti tahap kemarahan, tawar-menawar, atau depresi.
Melansir sebuah penelitian, Ariny mengungkap bahwa orang Indonesia memiliki berbagai cara dalam mengatasi kedukaan ketika kehilangan seseorang yang disayangi.
Apa itu? Emotional-focused coping dan religious coping. Bentuk emotional-focused coping antara lain mencari dukungan sosial, berbagi perasaan sedih ke orang lain, atau melakukan refleksi diri dari masalah yang terjadi dan meluapkan emosi dengan cara menangis. Sementara itu, religious coping adalah meningkatkan intensitas beribadah dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
"Selama tidak merugikan, tidak membahayakan, dan tidak mengganggu mental individu, sah-sah saja melakukan berbagai coping," ujar Ariny.
Hal senada disampaikan Palupi.
Menurutnya, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan duka, seperti beraktivitas normal dan mencari dukungan dengan berkumpul bersama orang-orang yang merasakan kehilangan yang sama untuk mendapatkan penguatan mental.
"Selain itu, bisa pula mengenang hal yang lucu dan menyenangkan dari orang yang meninggal, dan mendekatkan diri dengan Sang Maha Pencipta untuk menyadarkan diri bahwa semua adalah milik-Nya dan akan kembali pada-Nya," tandas Palupi.
"Tentu, cara yang sehat adalah yang tidak merugikan diri sendiri dan lingkungan. Sebaliknya, cara yang tidak sehat adalah melakukan hal-hal yang merugikan diri dan lingkungan," ungkap Palupi.
Tak ada waktu yang baku mengenai lama berduka.
Palupi menekankan bahwa umumnya, semakin dekat dan dalam hubungan dengan orang yang meninggal, maka semakin lama proses berduka berlangsung. Tentu, perlu diusahakan secepat mungkin seseorang mencapai tahapan menerima dan melanjutkan kembali hidupnya.
Ariny sependapat bahwa tidak ada batasan waktu normal yang dijadikan patokan untuk menentukan apakah seseorang sudah berhasil melewati kesedihan.
"Umumnya, waktu yang dibutuhkan setidaknya sembilan minggu untuk beradaptasi terhadap berbagai peristiwa dalam hidupnya, termasuk kehilangan seseorang," jelas Ariny.
Namun, jika yang meninggal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan yang ditinggalkan, maka akan butuh waktu lebih lama, yakni bisa 1-2 tahun.
Kedua psikolog ini memberikan strategi mengatasi kedukaan dengan tepat.
"Untuk bisa cepat bangkit, dibutuhkan keimanan yang kuat terhadap sang Maha Pencipta. Juga untuk menentukan kembali makna dan tujuan hidup, khususnya bila orang yang pergi terkait dengan tujuan hidup kita sebenarnya," ujar Palupi.
Menurut Palupi, dukungan orang sekitar sangat penting. Saat berduka, seseorang cenderung merasa ia sendiri yang mengalami kehilangan. Inilah yang kemudian memperparah perasaan berduka.
Hal senada diamini Ariny. "Dukungan sosial dari orang di sekitar dapat membuat individu merasa diperhatikan, dicintai, dan diterima oleh lingkungan," jelasnya.
Menurutnya, ini mampu mengurangi stres yang muncul pasca kehilangan sehingga dapat membantu melewati masa dukacita dan menerima kejadian yang telah terjadi.
Jika kedukaan tak juga reda dan mengganggu kehidupan, Palupi menyarankan sebaiknya menghubungi konselor atau psikolog terdekat untuk mendapatkan terapi.
Saran yang sama disampaikan Ariny. "Jika dukacita tak kunjung reda, bahkan menimbulkan tekanan dan membahayakan individu yang bersangkutan, berikan pendampingan atau bantuan profesional oleh psikolog atau konselor," ujarnya.
Kedukaan cenderung menetap bila selama bertahun-tahun ia menunjukkan kesedihan berkepanjangan, seolah-olah peristiwa kehilangan baru saja terjadi, atau bahkan sampai mengalami keluhan fisik maupun psikologis.
Keluhan tersebut antara lain cemas, cepat marah, merasa sedih yang intens, tidak bersemangat dan menarik diri dari lingkungan karena teringat individu yang telah pergi. Ini semua patut diperhatikan, karena menunjukkan adanya kesedihan yang bersifat patologis.
"Kedukaan tiap individu dipengaruhi oleh kedekatan secara emosional, usia, proses kematian, dan kurangnya dukungan sosial. Keempat alasan itulah yang menjadikan kadar duka cita antar individu bisa berbeda," tegas Ariny.
Nah, individu yang mampu mengembalikan dukacitanya tentu bisa kembali melakukan berbagai aktivitas seperti biasa. Seseorang dapat dikatakan sudah melewati masa dukacita saat ia mampu menerima serta melihat sisi positif dari peristiwa kehilangan yang terjadi.
"Ia juga mampu menceritakan peristiwa kehilangan dengan baik tanpa memunculkan goncangan emosi, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa," pungkas Ariny.
Komentar