Dahulu sekali, di sebuah desa kecil di Rusia, hiduplah seorang penjahit bernama Isaac yang sangat mencintai keluarganya dengan sepenuh hati.
Isaac memiliki seorang istri yang jelita dan baik hati benama Rachel, dan mereka berdua memiliki seorang putri.
Setelah dewasa, putri mereka menikahi seorang pemuda, dan mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sophia. Isaac merasa kebahagiaannya lengkap.
Sayang, tak lama sesudah Sophia lahir, Isaac harus kehilangan istrinya tercinta, yang lebih dulu dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa.
Hati Isaac hancur berkeping-keping.
Namun, ia tak boleh lama berduka, karena ia harus tetap mencurahkan kasih sayang pada cucu semata wayangnya, Sophia.
Isaac yang terampil ingin membuatkan sesuatu yang istimewa untuk Sophia.
Maka, ia mengambil sehelai pakaian Rachel, sebuah gaun yang sebiru langit dan selembut awan. Ia memutuskan untuk membuat sesuatu dari baju tersebut.
Isaac mengambil jarum, benang, gunting, dan pita ukur. Dia mulai bekerja. Apakah yang dibuatnya? Oh, ternyata selimut cantik untuk Sophia cilik.
Sophia sangat menyukai pemberian sang kakek. Selimut itu menghangatkannya di musim dingin dan menghiburnya kala sedih. Seiring ia bertumbuh, selimut tersebut menjadi sahabat terbaiknya.
Setelah bertahun-tahun, selimut kesayangan Sophia menjadi tua dan usang.
"Sophia," tegur ibunya, "sudah waktunya untuk melepaskan selimut itu."
Gadis itu protes. "Tidak bisa! Kakek membuatnya untukku dari gaun kesayangan nenek!"
Akhirnya, putri Isaac mengeluh kepada ayahnya.
"Jangan khawatir," kata Isaac. "Aku tahu solusinya."
Maka ia mengambil selimut itu dan mulai mengerjakan sesuatu. Sekali lagi, Isaac mengeluarkan gunting, jarum, dan benang. Lantas, dari bahan yang masih tersisa dari gaun kesayangan Rachel, kakek yang terampil itu membuatkan sebuah celemek cantik bagi cucunya.
"Sophia, kakek punya sesuatu untukmu," panggil Isaac.
Dia menyerahkan celemek itu kepada Sophia. Warna dan kelembutannya sama dengan selimutnya dahulu, yakni sebiru langit dan selembut awan.
Sophia senang sekali. Dia meninggalkan selimutnya dan mengenakan celemek itu di pinggangnya. Sejak hari itu, Sophia mengenakan benda itu ke mana pun ia pergi. Bahkan, saat ia menghadiri pesta atau pergi tidur.
Tentu saja, karena selalu dipakai, akhirnya celemek itu pun menjadi compang-camping.
Suatu hari, ibunya berkata, "Sophia, sudah waktunya kamu membuang celemek tua itu."
"Tidak bisa!" protes Sophia. "Kakek membuatnya untukku dari gaun kesayangan nenek!"
Ibu Sophia kembali mengeluh kepada Isaac. "Ayah, lihat cucumu. Dia tidak bisa memakai celemek itu terus-menerus."
Isaac setuju bahwa celemek itu sudah buruk rupa, jadi ia mengeluarkan jarum, benang, gunting, dan sisa kain terakhir dari gaun istrinya.
Isaac mulai bekerja. Dia terus menjahit sampai berhasil membuat sebuah selendang.
Sophia sangat gembira menerima selendang yang sebiru langit dan selembut awan. Ia mencintai pemberian itu lebih dari celemek dan selimut. Selendang itu dia kenakan di sekeliling lehernya.
Sophia memakai kain itu ke mana-mana, saat bermain maupun bersekolah. Tentu saja, tak lama kemudian, selendang itu menjadi sangat usang, dan ibunya menggelengkan kepala setiap kali melihatnya.
Pada akhirnya, ibu Sophia tak tahan dan mengambil paksa selendang itu.
"Ibu!" protes Sophia dengan segera. "Kakek Isaac pasti bisa memperbaikinya! Dia akan mengeluarkan gunting, jarum, dan benang, dan membuatkan sesuatu yang indah untukku."
"Tidak ada lagi yang bisa dilakukan dengan kain ini," sahut ibunya.
Namun, Isaac mengambil selendang itu dan mulai bekerja. Setelah beberapa jam, dia muncul sambil menggenggam sepasang kaus kaki dengan ukuran yang pas untuk Sophia.
Sophia dengan gembira memakai kaus kaki yang sebiru langit dan selembut awan itu. Dia memakainya dengan sepatu but, sepatu sekolah, bahkan tanpa sepatu.
Pada akhirnya, kaus kaki itu menjadi usang, dan Sophia menyerahkannya pada ibunya.
"Yuk, kita berikan ini kepada kakek, dan ia akan membuatkan sesuatu yang baru dan tidak istimewa untukku."
Sekali lagi, ibu Sophia mendatangi ayahnya, kali ini membawa kaus kaki yang compang-camping. Isaac mengeluarkan peralatannya, mengukur kaus kaki itu, lalu mengubahnya menjadi sebuah pita kecil.
Sophia dengan gembira memakai pita barunya.
Dia mengenakannya setiap hari - ketika rambutnya digerai maupun dikuncir. Ia mengenakannya di bawah topinya. Ia juga mengenakannya di tengah hujan dan salju.
Pada suatu hari, Sophia pulang dari sekolah sambil menangis. "Ibu!" ratapnya. "Aku kehilangan pitaku. Ayo, kita pergi ke kakek, mungkin ia bisa membuatkan sesuatu yang baru."
Maka pergilah mereka menemui Isaac, tetapi ketika mendengar apa yang telah terjadi, ia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak punya sisa gaun nenek lagi," katanya pada Sophia. "Aku mungkin penjahit yang terampil, tapi bahkan aku pun tidak bisa membuat sesuatu dari ketiadaan. Tak seorang pun yang bisa."
Sophia menangis sedih.
Sejak hari itu, dia bukan lagi gadis kecil yang ceria. Dia selalu tampak muram dan tak bersemangat, sehingga ibunya mulai cemas. Dia memutar otak, dan akhirnya mendapat ide.
Maka, ibu Sophia memanggil putri serta ayahnya.
"Sophia, kakekmu berkata bahwa ia tidak mungkin membuat sesuatu dari ketiadaan. Itu benar. Kamu tidak lagi punya gaun nenek. Nenek, atau selimut, atau celemek, atau selendang, atau kaus kaki, atau pita. Tetapi, sebenarnya kamu mempunyai sesuatu."
Sophia menatap ibunya. Isaac pun merasa penasaran. "Apa itu, ibu?" tanya gadis kecil itu.
"Kamu memiliki kenangan akan semua benda itu," jelas ibu Sophia.
Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan kepada putrinya, bersama sebuah pena dan tinta.
"Nah, jika kamu menuliskan cerita tentang semua itu, maka kamu akan membuat sesuatu dari ketiadaan. Kamu akan mengabadikan kenangan itu, dan mewariskannya pada anak dan cucumu nanti."
Senyum lebar merekah di wajah Sophia. Saat itu juga, ia duduk dan mulai menulis. Dialah yang pertama kali menulis kisah ini dan mewariskannya.
Komentar