Ayo, Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Oktober dirayakan sebagai Bulan Bahasa. Saatnya bertanya, masihkah kita peduli kaidah berbahasa Indonesia yang baik?

Tak bisa dipungkiri, perkembangan media dan teknologi membuat dinamika berbahasa bergeser cepat.

Selain pengaruh eksternal tersebut, perkembangan bahasa juga senantiasa mengikuti kehidupan penuturnya. Sebagai alat manusia dalam melakoni kehidupan, bahasa terus berubah seiring perkembangan budaya penutur bahasa itu sendiri.

Ini ditegaskan oleh DR. Frans Asisi Datang, S.S., M.Hum., staf pengajar Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yang menyatakan

"Dalam bahasa Indonesia sendiri, tidak ada kaidah paling fundamental dari berbahasa yang benar. Satu-satunya kaidah yang ada hanyalah: gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar," jelas Frans.

Maksudnya? Mari kita lihat satu per satu.

Berbahasa Indonesia yang baik berarti menggunakan bahasa sesuai situasi dan kondisi. Misalnya, berbahasa Indonesia di rumah tentu tidak perlu formal seperti berbahasa Indonesia dalam forum resmi.

"Sementara itu, menggunakan bahasa Indonesia yang benar berarti menggunakan kaidah dan aturan berbahasa untuk situasi formal tertentu, seperti dalam surat menyurat, berpidato, dan menulis karya ilmiah," ujar Frans.

Frans menilai, penyebab seseorang tak dapat menggunakan bahasa Indonesia yang benar adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan berbahasa formal. Latihan menulis format di sekolah dan kampus kurang diperhatikan guru dan dosen.

"Tugas siswa dan mahasiswa tidak diberi kritik dari segi bahasa dan hanya dilihat dari segi isi. Ini karena jumlah guru dan dosen yang memahami bahasa Indonesia dengan benar juga masih sangat sedikit," papar Frans.

Keprihatinan serupa disampaikan oleh Ivan Lanin, S.T., M.T.I., anggota Komisi Pertimbangan Istilah, Sidang Komisi Istilah, Badan Bahasa.

Menurut Ivan, saat ini terjadi penurunan kemampuan berbahasa Indonesia secara formal, yang antara lain tampak dalam tiga hal, yakni menurunnya nilai rata-rata ujian bahasa Indonesia para siswa, tidak lancarnya reporter televisi saat menyampaikan laporan langsung, serta banyak kesalahan berbahasa pada tulisan resmi, seperti laporan dan tulisan ilmiah.

"Selain ketidaktahuan, ketidakcermatan, dan ketidakpedulian, rendahnya minat baca turut menjadi faktor utama penyebab kemerosotan kemampuan berbahasa Indonesia," tandas Ivan.

"Banyak membaca membuat wawasan kebahasaan seseorang meningkat, karena dia menjadi lebih banyak tahu kaidah bahasa," jelas Ivan. "Faktor lain yang berdampak buruk adalah ketidakbiasaan orang menulis dalam ragam formal."

"Ada perbedaan besar antara ragam formal dan informal bahasa Indonesia. Kita harus membiasakan diri untuk memakai ragam formal pada saat yang tepat agar terbiasa dengan ragam itu," tegas Ivan.

Bahasa merupakan salah satu bentuk budaya. Jadi, ada kaitan erat antara budaya yang tinggi dan bahasa benar.

"Biasanya, orang yang memerhatikan budayanya akan berbahasa dengan baik dan benar. Demikian halnya bahasa Indonesia. Bisa dipastikan seseorang yang berbudaya baik cenderung berbahasa baik dan benar pula," ungkap Frans.

Ivan menegaskan serupa. "Bahasa dan budaya saling memengaruhi. Guru besar antropologi Indonesia, Koentjaraningrat, pernah menguraikan beberapa sifat negatif bangsa Indonesia," katanya.

Dalam buku Rintangan-rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia (1969), Koentjaraningrat memaparkan bahwa salah satu yang berpengaruh dalam kemampuan berbahasa ialah sifat meremehkan mutu.

"Ini menimbulkan prinsip 'yang penting ngerti' kerap dianut bangsa kita dalam berbahasa. Kualitas bahasa yang digunakan tidak dianggap penting. Padahal, saat disajikan dengan bahasa yang bermutu, penyampaian pesan dapat lebih dipastikan," papar Ivan.

"Kaidah paling fundamental untuk berbahasa yang benar dari semua bahasa (tidak hanya bahasa Indonesia) ialah susunan kalimat yang efektif," tegas Ivan.

"Kalimat yang efektif mampu menyampaikan pesan dengan baik secara lugas, tepat, dan jelas. Dalam ragam tulis, efektivitas kalimat ditunjang oleh ejaan yang baik," tambahnya.

Ivan menandaskan apa yang juga disampaikan Frans, yakni makna berbahasa yang baik dan benar. "Baik" berarti sesuai konteks. Saat berbahasa untuk publik atau suasana formal, kita memakai ragam formal. Saat berbahasa dengan teman, misalnya, kita memakai ragam informal.

"Benar" berarti sesuai kaidah, antara lain kaidah ejaan, bentuk dan makna kata, serta kaidah kalimat. Pilihan kata (diksi) dapat berbeda antara ragam formal dan informal, tetapi ada kaidah yang berlaku universal, misalnya bentuk penulisan "di" yang dipisah dan "di-" yang dirangkai.

Bagaimana dengan fenomena bahasa gaul?

Menurut Ivan, bahasa gaul adalah bahasa tidak resmi yang dipakai oleh kelompok tertentu. Bahasa gaul atau "slang" akan selalu ada karena kelompok penutur memerlukan identitas pembeda.

"Penutur perlu memahami bahwa ragam bahasa ini hanya digunakan dalam lingkungan tertentu. Bila pemahaman ini disadari, slang seyogyanya tidak merusak bahasa Indonesia secara keseluruhan, bahkan mungkin dapat memperkaya," kata Ivan.

"Tidak semua bahasa gaul merusak bahasa Indonesia, karena bahasa gaul tersebut menjadi salah satu sumber perkembangan bahasa Indonesia di kemudian hari. Jadi, bahasa gaul pada saatnya nanti dapat memperkaya bahasa Indonesia," tegas Frans.

Menurutnya, konsep "kerusakan" bahasa itu dikenal oleh orang yang memandang bahasa secara prespektif. Jika kita berpandangan deskriptif terhadap bahasa, yang dianggap merusak bahasa itu merupakan bagian dari perkembangan bahasa.

Tak ada alasan untuk tidak belajar memperbaiki keterampilan berbahasa. Apalagi, kini banyak referensi berbahasa Indonesia di internet, seperti KBBI daring, tesaurus, dan berbagai koleksi PDF rujukan kebahasaan dan tata bahasa.

"Kita harus menata lagi kurikulum bahasa Indonesia di sekolah dengan lebih memberi porsi besar untuk menulis. Guru-guru dan dosen perlu disadarkan akan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar," Frans mengingatkan.

Ivan mengajukan berbagai rekomendasi untuk memperbaiki keterampilan berbahasa Indonesia. Pertama, untuk mengurangi ketidaktahuan, kita dapat memperbanyak rujukan kebahasaan melalui media dan internet.

"Sementara itu, upaya mengurangi ketidakcermatan dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan. Nah, yang paling sulit ialah mengurangi ketidakpedulian," tandas Ivan.

Solusinya? Ivan menyarankan agar kita berusaha menumbuhkan kesadaran bahwa berbahasa yang benar itu keren. Ini dapat dilakukan dengan pemberian contoh oleh lembaga resmi atau tokoh masyarakat yang menjadi anutan.

Tentu, pemerintah atau lembaga pendidikan memiliki tugas untuk memberikan contoh berbahasa yang benar dalam ragam formal, bahkan dalam ranah media sosial.

Oleh sebab itu, akun media sosial lembaga pemerintah atau pendidikan sepatutnya memakai ragam formal. Bolehlah kalau kadang-kadang menyisipkan diksi populer untuk membuat nada kalimat menjadi lebih santai. Namun, kaidah bahasa formal secara umum harus diikuti.

"Bahasa Indonesia akan tetap ada karena bahasa itu mempersatukan kita. Kita perlu bahasa yang membuat beragam suku bangsa di Indonesia dapat saling berkomunikasi," pungkas Ivan. "Itu anugerah besar bagi bangsa kita karena tidak semua bangsa memiliki bahasa persatuan."


Pedoman Bahasa di Dunia Maya

Berikut sejumlah laman penting yang dapat memberikan panduan terkait ejaan dan makna kata:
✓ http://kateglo.com
√ https://kemdikbud.go.id
√ http://tesaurus.kemdikbud.go.id/tematis

Intip Peta Bahasa di Indonesia
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melakukan penelitian sejak 1991 untuk menyusun persebaran dan penggunaan bahasa di Indonesia. Salah satu temuan mereka adalah jumlah bahasa di Indonesia, yakni 733. Yuk, simak peta menarik mereka di laman badanbahasa.kemendikbud.go.id, menu "Peta Bahasa."


Komentar