Anda Percaya Takhayul?


Masyarakat modern identik dengan pola pikir rasional. Nyatanya, takhayul masih banyak diyakini dalam kehidupan sehari-hari.

Tiga belas merupakan angka sial!

Dan awas, jangan berdiri di depan pintu bagi gadis yang belum menikah. Jangan pula bicara sembarangan saat melewati kuburan. Dan masih banyak lagi aturan terkait takhayul di masyarakat kita.

Dicky Pelupessy, S.Psi., M.Sc., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa takhayul merupakan bagian dari budaya, dan budaya menjadi salah satu dasar perilaku manusia.

"Dalam budaya ada kebiasaan dan praktik-praktik yang diajarkan generasi sebelumnya. Takhayul berproses dari interaksi sebelumnya, dan bisa saja itu bagian dari kebudayaan," papar Dicky.

Ada dua faktor yang membentuk atau melahirkan sebuah takhayul. Pertama adalah budaya, seperti disinggung sebelumnya.

"Kedua, faktor ketidaktahuan manusia. Kita bukanlah makhluk yang serba tahu. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan secara logis atau rasional," tutur Dicky.

Misalnya, gunung meletus yang dianggap sebagai pertanda dewa yang berdiam di dalam gunung itu sedang merah. Ini menunjukkan keterbatasan manusia dalam mengolah informasi dan fenomena di lingkungan.

"Prinsipnya, dalam psikologi kognitif, manusia bukan tipe pemikir yang benar-benar berpikir. Karena kita punya keterbatasan, maka kita punya yang namanya jalan pintas," papar Dicky.

"Takhayul bisa dianggap sebagai sebuah jalan pintas untuk mengarahkan perilaku kita berdasarkan apa yang kita pahami. Padahal, belum tentu kejadian yang sebenarnya seperti itu," ungkap Dicky.

Takhayul juga dapat dijabarkan sebagai kepercayaan kepada sesuatu yang tidak masuk akal secara nalar dan alamiah.

Inilah definisi yang diberikan oleh Teuku Kemal Fasya, S.Ag., M.Hum., staf pengajar Departemen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

"Ini termasuk kepercayaan supranatural atau kekuatan adikodrati yang bukan berasal dari tuntunan agama. Takhayul juga berhubungan dengan kepercayaan tak masuk akal masyarakat modern," papar Kemal.

"Batasan takhayul ada dua, yaitu sesuatu yang tidak diatur di dalam agama dan tidak bisa dibuktikan oleh sains, juga kepercayaan yang berhubungan dengan perasaan atau aspek psikologis, yang tidak memiliki urutan nalar dan keyakinan agama," jelas Kemal.

Apakah perbedaan antara takhayul, pamali, dan mitos?

"Tidak ada, karena ketiga istilah ini mengartikan pada aspek kesialan dan keuntungan yang didapatkan dengan situasi yang tidak bisa dinalar, atau terra in cognita," papar Kemal.

"Namun, arti pamali lebih kepada larangan dan pantangan yang juga tidak bisa dijelaskan secara akal sehat dan hubungan kausal-fungsional dari sisi ilmu pengetahuan," lanjutnya.

Yang melatari keberadaan takhayul, menurut Kemal, adalah kepentingan membangun sistem moral dan persuasi sosial di masyarakat. Selain itu, dalam setiap mitos atau takhayul, ada aspek bahasa yang mempertahankannya.

Melalui takhayul, masyarakat mengembangkan mekanisme jalan pintas untuk menjelaskan banyak hal.

"Takhayul adalah ciptaan manusia yang digunakan sebagai salah satu jalan pintas untuk menjelaskan sesuatu yang tidak diketahui, sehingga kemudian membuat perilakunya itu terarah," ujar Dicky.

"Jika melakukan sesuatu yang tidak ada penjelasannya, kita akan merasa tidak nyaman, kita merasa nyaman karena seolah-olah punya penjelasan, meski belum tentu akurat," imbuhnya.

Kita merasa nyaman dengan larangan makan di periuk besar saat hamil, atau mengambil bunga melati di hiasan pengantin. Ketika mendengar penjelasan dari perilaku atau bentuk takhayul itu, kita merasa nyaman. Padahal, ada sesuatu yang tidak terjelaskan.

Alasan seseorang menaati takhayul, menurut Kemal, adalah ketakutan mendapat bala bencana atau kesialan jika melanggar atau tidak menaati.

"Di sini, ada peran sugesti yang tinggi. Sugestilah salah satu yang membuat orang percaya takhayul," tegasnya. "Takhayul memang hidup dalam budaya lokal sebuah masyarakat, meski ada juga takhayul dalam budaya global, seperti angka sial atau melempar koin ke sungai untuk keberuntungan."

Dicky menilai, takhayul dianggap jadi suatu kebenaran karena sebagai budaya yang diciptakan manusia, ia berkembang dan dipahami secara kolektif. Kalau pun ada faktor yang bisa mengintervensi ini, maka itu adalah tingkat pendidikan.

Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin dia tidak memegang takhayul, pamali, dan mitos. Ini karena pendidikan membantu seseorang berpikir lebih logis, rasional, dan bersikap kritis.

Pendidikan juga memberi seseorang informasi yang lebih luas dibandingkan mereka yang berpendidikan rendah, yang tidak memiliki informasi pembanding.

Bagaimana dengan generasi milenial? Masihkah mereka percaya takhayul?

Dicky menegaskan bahwa budaya secara kolektif dibagi bersama-sama. Generasi milenial mengembangkan budaya, alam pikiran, dan gaya hidup mereka sendiri. Ini juga yang dibagi secara kolektif dengan generasi mereka.

Artinya, ada semacam kompetisi dua kebiasaan dan dua budaya yang berbeda: antara takhayul yang merupakan bagian dari generasi sebelumnya dengan budaya milenial saat ini.

Berbeda dengan karakter generasi sebelumnya yang tidak ada informasi pembanding, tidak ada kesempatan atau peluang bertukar informasi satu sama lain, karakter kaum milenial mudah mendapat dan bertukar informasi dengan teman.

Anak-anak milenial punya kecenderungan lebih guyub dan gaul serta terikat dengan kelompok mereka, dan saling. Generasi milenial juga semakin sering mendapat informasi yang menarik minat dan pergaulan dari media sosial.

"Dengan pola pikir, gaya hidup, dan kemudahan informasi yang diakses, bisa saja ini mengurangi pengaruh takhayul, mitos, dan pamali di kalangan milenial," tandas Dicky.

Karena itu, hal-hal berbau takhayul kian dianggap tidak relevan dengan kehidupan mereka. Ini yang kemudian bisa membuat pengaruh takhayul pada generasi milenial melemah, tidak sekuat pada generasi sebelumnya.

Meski mulai ditinggalkan dan tidak dijadikan acuan perilaku, takhayul tak akan benar-benar hilang, karena hal ini terkait dengan budaya yang sudah melekat di tengah masyarakat.

"Takhayul akan tetap diyakini, karena kita bukan masyarakat yang sepenuhnya rasional. Kita masih mudah sensitif dan melodramatik dengan apa pun, bahkan dalam dunia politik," ujar Kemal.

"Contohnya, masih ada kepercayaan bahwa nomor urut partai politik tertentu membawa keberuntungan. Sepertinya, di tengah masyarakat yang kian modern dan digital, takhayul akan tetap bertahan," pungkas Kemal.


Meneliti "Kesialan" Angka 13
Anggapan bahwa angka 13 membawa sial begitu lazim di budaya Barat sampai ada istilah khusus: triskaidekaphobia. Konon, ekonomi Amerika Serikat kehilangan 900 juta dollar AS per tahun akibat orang yang menolak bekerja atau naik pesawat pada tanggal 13 yang jatuh di hari Jum'at. Di Inggris, St. Thomas's Hospital di London harus menyingkirkan ranjang nomor 13 dari dua bangsalnya karena ketakutan pasien. Untuk membuktikan angka 13 tidaklah sial, sejumlah peneliti di Bristol membuat penelitian. Mereka menyusuri rekam jejak 1.500 pasien di ICU Southmead Hospital pada 2915-2017. Selama periode tersebut, ada 110 pasien yang dirawat di ranjang nomor 13, dan tim peneliti membandingkan kondisi mereka dengan pasien di ranjang 14-24. Hasilnya? Dirawat di ranjang nomor 13 sama saja dengan nomor lain - risiko pasien untuk bertambah parah atau bahkan mati tidak lantas meningkat!


Komentar