Kenali burung unik ini sebelum mereka lenyap dari muka Bumi.
Puffin sedang menghadapi masalah besar.
Jumlah burung ini merosot dengan cepat, terutama sejak tahun 2000. Di Iceland, rumah bagi koloni terbesar Puffin Atlantik, perhitungan terakhir mendapati populasi mereka turun dari 7 juta menjadi 5,4 juta.
International Union for Conservation of Nature telah memasukkan Puffin ke dalam kategori "rentan". Artinya, burung tersebut menghadapi risiko tinggi terhadap kepunahan.
Penyebabnya beragam. Di antaranya, polusi dan penurunan pasokan ikan yang menjadi umpan utama mereka akibat perubahan iklim. Burung kebanggaan warga Iceland ini juga diburu karena konon dagingnya lezat.
Erpur Snaer Hansen, direktur South Iceland Nature Research Center, bekerja sama dengan Annette Fayet, junior research fellow di University of Oxford, untuk memantau aktivitas koloni Puffin Atlantik di Iceland, Wales, dan Norwegia.
Mereka berangkat ke Pulau Grimsey dan berkemah di sarang-sarang Puffin yang berbentuk liang. Mereka menimbang berat burung tersebut dan mengambil sampel liur untuk melihat perubahan pada pola makan. Terakhir, mereka memasang pelacak GPS di sayap.
Pelacak tersebut akan menguak seberapa jauh Puffin terbang dan seberapa dalam mereka menyelam demi mencari makan. Harga setiap pelacak berteknologi mutakhir ini cukup mahal: 800 dollar AS, atau sekitar 12 juta rupiah.
Penelitian yang menyeluruh ini juga mencakup pencabutan lima bulu yang dipasangi GPS untuk mengetahui jenis kelamin mereka. Sementara itu, untuk identifikasi jarak jauh, para peneliti menggunakan marker untuk memberi tanda biru di dada dan putih di bulu kepala.
Di sekitar Iceland, Puffin telah menderita karena kemerosotan jumlah makanan favorit mereka: belut pasir keperakan. Umpan ini sering tampak menggantung di paruh Puffin dewasa ketika memberi makan anak-anak.
Kemerosotan ini dipicu peningkatan suhu permukaan laut yang telah dipantau Hansen selama bertahun-tahun. Suhu perairan Iceland diatur oleh siklus jangka panjang bernama Atlantic Multidecadal Oscillation, dengan periode air dingin dan hangat silih berganti.
Antara 1965-1995, Hansen mendapati bahwa catatan suhu mengungkap peningkatan 1 derajat Celcius, dan ini menjadi faktor kunci di balik kemerosotan belut pasir.
Mengapa? Kenaikan suhu mengubah kecepatan pertumbuhan dan kemampuan belut pasir bertahan saat musim dingin. Tanpa cukup belut pasir, Puffin harus terbang lebih jauh untuk menemukan makan.
Data yang dikirimkan GPS, seberapa pun kecilnya, akan memberi info menarik.
Ketika Fayet duduk di depan komputernya, masih di Pulau Grimsey, teman-temannya di Norwegia mengirimkan data pertama dari pekerjaan seminggu sebelumnya, dan layar komputer Fayet pun dipenuhi rute jejak Puffin.
Karena ini adalah pertama kali hal tersebut dilakukan, para peneliti merasa bersemangat. Namun, bahkan data yang menarik pun bisa membuat sedih. Tim peneliti mendapati bahwa di berbagai wilayah, para Puffin harus berkelana lebih jauh dari yang mereka duga sebelumnya.
Jumlah mereka yang merosot juga menandakan bahwa burung ini bekerja terlalu keras untuk mencari makan, karena terbang bagi Puffin sangatlah berat dan mengeluarkan energi besar.
Puffin-puffin yang dipantau Hansen juga menunjukkan bahwa 40 persen dari populasi anak Puffin Iceland kehilangan massa tubuh cukup signifikan. Lagi-lagi, ini adalah pertanda buruk.
Ketika Puffin dewasa tidak mendapat cukup makan untuk anak mereka, maka mereka secara naluriah memilih untuk memberi makan diri sendiri. Fayet mengaku terpukul saat menjulurkan tangan ke liang dan menyentuh gumpalan kecil yang dingin - anak Puffin yang mati kelaparan.
Memang, masih ada jutaan Puffin Atlantik, tapi jangan tertipu angka tersebut. Burung ini berumur panjang, sehingga kemerosotan jumlah mereka belum terasa. Dalam jangka panjang, angka ini tidaklah berarti.
Komentar