Mutasi Gen Putri Soo-Kyung Lee

Bertahun-tahun, pakar genetika Soo-Kyung Lee meneliti kelompok gen yang penting bagi perkembangan otak. Lalu, ia mendapat kejutan: putrinya sendiri memiliki mutasi gen tersebut.

Yuna Lee baru berusia dua tahun ketika Soo-Kyung Lee, sang ibu, mendapat kabar dari dokter tentang vonis penyakit putrinya.

Sebelumnya, pemindaian otak, tes genetika, dan uji syaraf tidak dapat mengungkap apa yang sebenarnya dialami Yuna, yang kerap mengalami kejang dan menangis tanpa henti. Ia belum bisa bicara, berjalan, atau berdiri.

Soo-Kyung Lee tak mengerti mengapa putri kecilnya begitu menderita, sampai sebuah email datang padanya, menyebutkan bahwa Yuna kemungkinan memiliki mutasi gen FOXG 1. Soo-Kyung terpaku.

Sebagai pakar biologi perkembangan di Oregon Health and Science University (OHSU), genetika otak adalah minat Soo-Kyung. Dan selama bertahun-tahun, fokus penelitiannya adalah kelompok gen yang jarang dilirik: FOX.

Sebagai peneliti gen tersebut, Soo-Kyung tahu benar pentingnya FOXG 1 dalam perkembangan otak. Dia juga tahu bahwa mutasi gen tersebut amat langka dan biasanya tidak diturunkan.

Sebaliknya, gen ini bermutasi secara spontan saat masa kehamilan. Hanya 300 orang di dunia yang diketahui memiliki mutasi yang dikenal sebagai sindrom FOXG 1 ini.

Bersama suaminya, Jae Lee, 57, juga spesialis genetika di OHSU, Sooyung, 42, terjun dalam upaya memahami mutasi gen yang baru teridentifikasi ini, serta mencari diagnosis dan terapi yang akurat.

Kini, Yuna adalah anak manis berusia 8 tahun yang masih harus mengenakan popok. Kemampuan kognitifnya setara dengan batita 18 bulan.

Di malam hari, ia harus digendong ke lantai atas untuk tidur di ranjang bayi berukuran besar. Jika Yuna bisa memberi tanda ketika popoknya basah, maka ini dianggap keberhasilan besar.

Atau, jika ia bisa berdiri tanpa ditopang saat mereka menyandarkannya ke dinding. Jika Yuna tak segera roboh ke lantai, maka ini juga dianggap kemajuan.

Kemajuan dalam penguraian genome mendorong gairah baru dalam dunia genetika, karena teknologi ini dapat mengaitkan suatu penyakit misterius dengan mutasi gen tertentu. Sering kali, mutasi itu acak dan tidak diwariskan dari orangtua.

Riset terbaru menguak bahwa setiap tahun, sekitar 400.000 ribu bayi lahir dengan kelainan saraf yang diakibatkan mutasi acak, ujar Matthews Hurles, kepala genetika manusia di Wellcome Trust Sanger Institute.

Seiring biaya penguraian genome yang semakin murah, semakin banyak pula anak yang akan menerima diagnostik spesifik, seperti sindrom FOXG 1.

Soo-Kyung lantas mendapat rekomendasi untuk menemui pakar terdepan dalam neuroradiologi, yakni Dr. Jim Barkovich dari University of California, San Fransisco (UCSF).

Menurut Barkovich, hasil pemindaian otak Yuna mengungkap pola yang sangat tidak biasa, yakni pola yang tidak ia lihat selama berpuluh-puluh tahun mengevaluasi pencitraan otak yang dikirimkan padanya dari berbagai penjuru dunia.

Korteks serebral Yuna memiliki materi putih yang abnormal, yang berarti kemungkinan ada sel-sel yang sekarat. Selain itu, corpus callosum atau otak tengah, koridor tempat sel-sel dalam hemisfer otak kiri dan kanan berkomunikasi, tampak terlalu tipis.

Dr. Barkovich mengidentifikasi satu gen di area tersebut yang, jika bermutasi, dapat memicu pola abnormal seperti dimiliki Yuna.

Namun gen tersebut: FOXG 1. Ini adalah salah satu gen paling penting dalam perkembangan otak. Karena perannya yang krusial, para ahli kerap menjulukinya Brain Factor 1.

Gen ini berperan dalam tiga tahap perkembangan vital otak janin, yakni memisahkan area atas dan bawah, menyesuaikan jumlah sel saraf yang dihasilkan, dan mengatur organisasi korteks keseluruhan.

Dr. William Dobyns, profesor pediatri dan neurologi di University of Washington, memberi nama diagnosis tersebut: sindrom FOXG 1. Ia menegaskan, FOXG 1 menyediakan pola bagi protein yang membantu gen-gen lain teraktivasi, atau sebaliknya.

Jauh sebelum Yuna lahir, Soo-Kyung menemukan riset yang menarik minatnya. Studi tersebut menunjukkan bahwa tikus yang kehilangan kedua gen FOXG 1 tidak berhasil membentuk otak.

Ini juga berlaku pada manusia. "Tak ada orang yang tidak memiliki dua kopi gen tersebut," ujar Riddle of the National Institute of Neuroligical Disorders and Stroke. "Mereka tak akan bertahan hidup."

Soo-Kyung memberi tahu suaminya bahwa dia ingin mempelajari bagaimana FOXG 1 mendorong perkembangan otak. Saat mempelajari otak tikus, suami-istri tersebut mengidentifikasi gen-gen yang berinteraksi dengan FOXG 1.

Studi yang mereka lakukan membantu menjelaskan mengapa satu kopi cacat dari FOXG 1 akan merusak kemampuan corpus callosum untuk meneruskan sinyal-sinyal antara hemisfer-hemisfer otak.

Namun, banyak misteri belum terungkap. Mutasi-mutasi FOXG 1 memengaruhi fungsi gen secara berbeda, sehingga gejala satu pasien FOXG 1 bisa bervariasi dari pasien lain.

Misalnya, Charles A. Nelson III, ahli perkembangan anak dan kelainan saraf perkembangan di Boston Children's Hospital dan Harvard Medical School, mengevaluasi dua pasien usia 10 tahun dengan mutasi area yang berbeda dan tingkat kerusakan yang juga berbeda.

Karena Yuna memiliki satu gen FOXG 1 yang disfungsional dan gen lain yang fungsional, sehingga ia menghasilkan setengah dari protein FOXG 1 yang dibutuhkan, Soo-Kyung berharap terapi gen dapat memulihkan sejumlah protein atau mendorong aktivitas protein dalam gen yang sehat.

Namun, karena FOXG 1 begitu penting dalam periode yang begitu awal dalam perkembangan otak, Rowitch meragukan efektivitas terapi tersebut.

Dulu, Soo-Kyung jarang menjelaskan kondisi putrinya kepada sesama ilmuwan, tetapi kini ia mulai lebih terbuka dalam membicarakan Yuna.

"Setiap hari, saya dilanda ketakutan bahwa Yuna tak akan bersama saya lagi," ujar Soo-Kyung. "Tapi sejauh ini dia telah melakukan hal-hal menakjubkan yang tidak berani kami harapkan."

Komentar