Apa yang Harus Dilakukan Jika Si Kecil Fobia Matematika?

Pelajaran matematika kerap menjadi momok bagi anak-anak. Apa solusinya?

Apakah anak Anda tampak gelisah, sulit tidur, sakit perut, atau cemas berlebihan setiap kali menghadapi pelajaran matematika? Bisa jadi, dia mengalami fobia matematika.

Menurut Yenny Astria Siahaan, M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya, fobia merupakan ketakutan irasional yang menimbulkan upaya menghindar secara sadar dari objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.

"Reaksi fobia dikategorikan sebagai gangguan jika sudah mengganggu kemampuan individu untuk berfungsi pada peran-peran tertentu, seperti sekolah, pekerjaan, dan relasi sosial," jelas Yenny.

Penjelasan senada diberikan oleh Tari Sandjojo, Psi., Psikolog, Direktur Akademik Sekolah Cikal.

"Dalam dunia psikologi, rasa takut terhadap objek tertentu disebut fobia jika sudah mengganggu fungsi hidup, seperti pola makan dan pola tidur. Dua hal ini paling jelas terlihat, terutama pada anak-anak," papar Tari.

Dalam konteks fobia matematika, maka mendekati waktu pelajaran matematika, anak bisa menunjukkan sejumlah gejala psikosomatik, seperti sakit perut dan keringat dingin karena tidak bisa mengatasi cemas.

"Anak belum masuk tahap fobia jika kekhawatiran masih bisa disampaikan secara verbal. Kadang, mengekspresikan ketakutan butuh waktu, apalagi pada anak-anak," ujar Tari.

Proses kemunculan fobia tidak membutuhkan momentum khusus. Namun, jika fobia disebabkan oleh trauma, maka kemungkinan akan ada momen tertentu yang mengingatkan pada trauma.

"Penyebab lain fobia adalah kemungkinan individu mempunyai pemikiran negatif terhadap objek atau situasi tertentu yang secara berulang-ulang dia pikirkan," jelas Yenny.

"Ini membuat pola pikir yang salah terhadap objek atau situasi tertentu, yang lantas direspon menjadi suatu bentuk ketakutan yang irasional," lanjut Yenny.

"Untuk menghindari fobia, pemicunya harus dihindari. Jika fobia ular, maka harus steril dari ular. Namun, ini tentu sulit untuk matematika, karena pelajaran tersebut akan ditemui anak, dari tingkat SD sampai SMA," papar Tari.

Karena itu, Tari menekankan agar pemicu fobia matematika pada anak ditelusuri, apakah guru, metode belajar, soal yang sulit, situasi kelas, atau pengalaman tidak menyenangkan saat belajar.

Kendati sering jadi momok, matematika dibutuhkan dalam hidup, seperti operasi bilangan dasar terkait penjumlahan, pengurangan, pembagian, perkalian, dan statistik tertentu. Inilah yang perlu dipahami anak.

"Jika fobia ini tidak diatasi, maka dampaknya adalah anak tidak akan punya pengalaman berhasil dalam matematika, sehingga dia tidak akan memahami pentingnya belajar matematika," Tari mengingatkan.

"Titik balik umumnya terjadi di kelas 3-4 SD," tegas Tari. "Inilah momen menentukan bagi anak, apakah matematika akan dianggap menyenangkan atau sebaliknya. Pengalaman tak menyenangkan bisa terbawa sampai dewasa."

Dalam periode ini, terjadi peralihan learning objective dari belajar matematika dengan objek konkret menjadi cerita yang menuntut mental image, dan itu tidak mudah.

Namun, keterbatasan sarana, biaya, dan tuntutan kurikulum membuat guru kerap langsung menuju soal cerita saat anak dianggap sudah tahu perkalian dan pembagian.

"Padahal, soal cerita harus selaras dengan kemampuan memahami bacaan. Kalau anak belum lancar membaca, maka dia tidak bisa memecahkan soal matematika," jelas Tari.

Itu sebabnya, Tari menegaskan bahwa sekolah, guru, dan orangtua mestinya bisa melihat kemampuan setiap anak.

"Ketahui bagaimana tahap belajar anak, sehingga idealnya PR anak juga berbeda sesuai kemampuannya. Pelajaran pun harus relevan, karena pada akhirnya semua pelajaran itu akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari," tandas Tari.

Orangtua harus bekerjasama dengan sekolah untuk melihat kebutuhan anak. Misalnya, jika anak belum mampu perkalian, maka jangan dipaksakan. Kuatkan konsep penjumlahan dan pengurangan lebih dulu.

Terkait hal ini, Tari menyayangkan kecenderungan orangtua untuk menggunakan seluruh waktu anak di luar jam sekolah untuk les mata pelajaran yang menjadi kelemahan anak, sehingga terjadi ketidakseimbangan.

"Idealnya, beri porsi yang sesuai. Tidak berarti lima hari seminggu anak harus les matematika. Anak tetap harus punya kegiatan lain yang menyenangkan sehingga dia punya pengalaman berhasil di bidang lain," saran Tari.

"Saat anak memiliki masalah dengan matematika, maka perlu dilihat di tahap mana dalam pelajaran tersebut yang membutuhkan bantuan. Kalau perlu les, maka berikan les sesuai kebutuhan," kata Tari.

"Kalau sekadar isu dengan matematika, maka remedial saja sebenarnya sudah cukup.

Namun, jika anak mengalami fobia matematika, maka sebelum banyak hal yang harus diperbaiki dulu," pesan Tari.

Dalam konteks fobia, yang pertama mesti dilakukan adalah belajar relaksasi untuk menghilangkan rasa takut terhadap hal yang membuatnya fobia.

Pada dasarnya, fobia adalah kecemasan. Karena itu, apa yang dialami anak harus terdiagnosis dengan baik, apakah benar fobia atau sekadar cemas tingkat tinggi. Kalau benar fobia, maka ada terapi yang harus dilakukan oleh profesional.

Jadi, yang pertama harus dilakukan adalah mencari sumber ketakutan anak, apakah pada pelajaran, metode belajar, atau guru. Bisa saja, misalnya, yang membuat anak takut adalah hukuman yang diterima saat pelajaran matematika.

Jangan sampai kita keburu memberi label fobia matematika pada anak, padahal saat dihadapkan pada metode pengajaran yang berbeda, anak kemudian merasa tidak takut lagi.

Orangtua dan pendidik perlu peka terhadap perubahan perilaku anak.

"Ingat, fobia itu kalau sudah mengganggu fungsi hidup. Misalnya, anak berubah menjadi moody dan mengalami mimpi buruk sebelum pelajaran matematika," ujar Tari. "Atau, anak menjadi murung dan nafsu makan berkurang."

Tari menjelaskan bahwa terapi fobia pada intinya menerima dulu bahwa ada ketakutan yang dialami terhadap sesuatu. Lantas, anak diberi strategi untuk mengatasi. Yang pertama mesti dilakukan adalah strategi untuk relaksasi agar dia bisa tenang.

"Fobia bisa muncul dengan cukup ekstrem. Misalnya, guru matematika anak sering pakai baju garis-garis. Ketika melihat orang pakai baju serupa, rasa takut anak terpicu. Dia harus belajar untuk bisa relaks," tandas Tari.

Orangtua dan guru yang peka menangkap gejala kegelisahan anak, terutama anak di bawah usia 10 tahun, sebenarnya tidak perlu menunggu sampai terjadi fobia. Jika anak merasa tidak nyaman dengan salah satu pelajaran di sekolah, segera atasi.

"Sesungguhnya, mengajar bukan persoalan target mata pelajaran tercapai, melainkan membangun relasi dengan murid. Kalau punya hubungan yang baik dengan murid, maka guru tahu betul bagaimana harus berinteraksi dengan muridnya," tegas Tari.

Kabar baiknya, kini banyak metode belajar matematika yang membuat pelajaran tersebut terasa mudah menyenangkan.

Berkembang pula riset terkait cara membuat operasi bilangan lebih mudah karena sesuai dengan cara kerja otak. Sebaliknya, cara pembelajaran matematika yang tidak efektif dan hanya bikin rumit karena tidak sesuai cara kerja otak mulai ditinggalkan.

"Mungkin, 20 tahun ke depan, tak ada lagi anak yang fobia dengan matematika. Kini banyak pilihan metode pemecahan rumus yang bisa diakses di internet, dan kita sedang berada di masa transisi untuk menyukai matematika," pungkas Tari optimis.

Komentar