Jangan Suka Membanding-bandingkan Anak

Kecenderungan membandingkan anak dengan saudara atau teman kerap dilakukan orangtua. Padahal, ini tidak sehat bagi perkembangan si kecil.

Rupanya, bukan hanya rumput tetangga yang selalu tampak lebih hijau. Anak tetangga pun kerap tampak lebih hebat dibanding anak sendiri.

Begitulah orangtua, sering kali suka membanding-bandingkan anak dengan anak lain. Ketidakpuasan pun muncul saat anak sendiri dirasa kurang pintar atau berprestasi. Padahal, bisa jadi buah hatinya lebih unggul dalam aspek lain.

Kecenderungan membandingkan anak oleh orangtua, menurut Alfikalia, M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Paramadina, tak lepas dari keberadaan kita sebagai makhluk sosial yang hidup di dunia sosial.

"Perbandingan sosial terhadap individu lain tetap ada secara ilmiah. Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah sejauh mana perbandingan itu diperlukan dan dalam konteks apa," ujar psikolog yang akrab disapa Lia ini.

Penjelasan senada diberikan oleh Clarisa Tania, M.Psi., dari Yayasan Pulih.

"Pada dasarnya, manusia suka membandingkan. Bagi orangtua, yang sering dijadikan bahan perbandingan biasanya adalah anak lain yang lebih pintar dan lebih baik," papar Clarisa.

"Harapannya, anak yang dibandingkan ini bisa meniru prestasi tersebut. Sayangnya, terkadang pesan itu tidak tersampaikan," ujar Clarisa. "Setiap anak punya keunikan dan kekuatan di bidang tertentu."

"Inilah yang mestinya ditonjolkan. Meski anak lain tampak hebat di bidang tertentu, belum tentu hal tersebut baik pula untuk anaknya, karena minat dan bakat setiap anak berbeda," tandas Clarisa.

Clarisa menyayangkan perbandingan yang sering kali dilakukan orangtua, karena sering kali perbandingan tersebut tidaklah objektif dan hanya atas dasar ambisi orangtua.

Lia mengungkap keprihatinan serupa. Dia mengingatkan orangtua agar saat melakukan perbandingan, janganlah menganggap kekurangan anak kita sebagai sebuah masalah besar, apalagi sampai bertanya-tanya mengapa anak kita berbeda dari anak lain.

"Sebaiknya, lakukan perbandingan yang baik, misalnya dalam tahap perkembangan. Contoh, anak usia dua tahun mestinya sudah bisa mengucapkan dua suku kata," kata Lia.

"Kalau anak kita sudah dua tahun tapi belum bisa demikian, perlu diwaspadai apakah ada masalah dalam tumbuh kembangnya, sehingga ini juga mendorong kita untuk berkonsultasi dengan ahli. Perbandingan seperti inilah yang akan melahirkan kesadaran baru menjadi positif," tegasnya.

"Perbandingan dapat memotivasi kita dan anak untuk melakukan upaya lebih maksimal. Perbandingan yang sehat adalah mempertanyakan diri sendiri, apakah anak saya sudah optimal ketika dia mengaktualisasi diri," saran Lia.

"Ini yang kemudian menjadi bahan evaluasi. Apakah ada hal-hal yang kurang dimengerti di sekolah atau ada hal-hal tertentu yang membuat kita tidak bisa maksimal," katanya lagi.

Orangtua kerap kali memiliki harapan berlebihan dan ekspektasi terlalu tinggi.

"Memang, hal ini dibutuhkan karena ketika orangtua punya harapan, dia akan mendorong sekuat tenaga agar anaknya mampu memenuhi harapan tersebut," ujar Lia.

"Namun, jangan lupa sejauh apa pun dia mendorong anaknya untuk maju, ada banyak faktor yang memengaruhi pencapaian tersebut," Lia mengingatkan. "Membandingkan itu perlu, tinggal bagaimana reaksi kita terhadap hasil perbandingan tadi."

Ia mengingatkan bahwa ada faktor kepribadian anak yang berbeda satu sama lain. Ini yang harus dipahami. Selain itu, kemampuan, minat, kegemaran, dan bakat setiap anak berbeda. Faktor inilah yang harus diperhitungkan sebelum membanding-bandingkan anak.

Kedua pakar ini sepakat bahwa sikap membandingkan bisa memengaruhi konsep diri anak.

"Sering kali, orangtua melakukan pembandingan negatif yang berdampak buruk pada konsep diri anak. Tujuannya mungkin positif, yakni memicu motivasi anak untuk mengikuti jejak keberhasilan teman, tapi di sisi lain, cara yang dipilih justru melukai hati si anak," ujar Lia.

Menurut Lia, konsep diri menjadi sangat krusial karena konsep diri akan terbawa hingga dewasa dan bisa melebar ke mana-mana, termasuk berdampak pada relasi dan interaksi anak dengan orangtua dan dengan orang lain.

Clarisa menandaskan hal serupa.

"Mungkin tujuan membandingkan positif, tetapi kadang orangtua lupa hal itu justru menyakitkan buat anak. Mestinya, orangtua bukan membandingkan, tetapi menjelaskan apa saja perilaku yang diharapkan muncul dari buah hatinya," tegasnya.

"Jangan sampai perbandingan ini memengaruhi konsep diri anak. Orangtua juga pernah jadi anak-anak, apakah kita nyaman bila dibanding-bandingkan dengan orang lain?
Harusnya ini jadi pertimbangan ketika kita hendak membandingkan anak," tegas Clarisa.

Bagi orangtua, kebiasaan membandingkan anak juga bisa membuat mereka stres sendiri dan lebih mudah marah pada anak ketika melihat anak lain yang lebih baik dan lebih berhasil.

"Orangtua bisa jadi kesulitan mengontrol emosi dan tampilan kasih sayangnya akan berbeda. Terkadang, membanding-bandingkan juga membuat orangtua menilai dirinya sendiri buruk, bertanya 'apa salah saya sehingga anak saya gagal,'" papar Lia.

Apa solusinya?

Ketimbang membanding-bandingkan, lebih baik komunikasikan dengan anak tentang apa yang menjadi harapan orangtua. Negosiasikan dengan anak, apa yang bisa orangtua lakukan untuk mendukung pencapaian sang anak.

Lia menilai bahwa komunikasi yang terjalin dengan baik akan menghasilkan relasi yang hangat dan baik antara anak dan orangtua. Dengan demikian, orangtua pun akan bisa mengkomunikasikan harapan atau ekspektasi dan menyesuaikannya dengan kemampuan anak.

"Orangtua yang hangat dan mampu melihat secara terbuka akan membuka ruang komunikasi dan diskusi dengan anaknya. Sebaliknya, orangtua dan anak yang tidak saling terbuka komunikasinya tidak memiliki ruang tersebut," tegas Lia.

"Ini bukan berarti orangtua mengambil alih tugas anak demi keberhasilan sang anak. Sebaliknya, yang bisa dilakukan orangtua adalah mendampingi, bukan mengambil alih," tegas Lia.

"Pendekatan yang baik adalah menjelaskan dengan cara komunikasi yang terbuka. Saat berkomunikasi, amatilah anak. Setiap kali ekspresi anak tampak berubah, pasti ada sesuatu yang salah," Clarisa menambahkan.

Menurutnya, tugas orangtua adalah membuka ruang diskusi serta mencari tahu kekuatan dan keunikan anak. Jika sudah menemukan bidang yang tepat, apalagi kalau anak sudah bisa diajak diskusi, maka orangtua bisa memfasilitasi.

Bersama anak, orangtua bisa mendiskusikan dan memberikan pilihan-pilihan, sekaligus memandu jalan yang diambil anak, apakah benar atau salah.

"Masalahnya, ego orangtua kerap kali jadi penghalang. Kita lupa, yang terluka ini ego kita atau ego anak? Tanyakan pada diri sendiri, apakah anak terluka atau tidak dengan perbandingan tersebut. Jangan hanya memakai 'kacamata' orang dewasa," tandas Clarisa.

"Ingat, anak berhak mengeksplorasi diri, jadi berikanlah kesempatan. Jika tidak, maka akan kembali ke ambisi orangtua. Minat dan bakat setiap anak berbeda, dan keunikan setiap anak perlu dipertahankan," pesan Clarisa.

Mudarat Membandingkan
* Anak malas berinteraksi sosial karena hanya akan dibandingkan dengan orang lain.
* Anak bisa membenci orang yang dibandingkan dengan dirinya.
* Anak menarik diri dan mengalami depresi dan gangguan kecemasan.
* Atau, anak jadi berontak, melawan, dan agresif.
* Dampak pada orangtua adalah sulit membangun kedekatan emosional dengan anak, dan anak pun enggan bersikap terbuka kepada orangtua.

Komentar