Sudahkah Anda Siap Memasuki Masa Pensiun?


Tanpa terasa masa purnabhakti pun tiba. Ya, masa pensiun menjadi keniscayaan. Ketika seseorang harus undur diri dari rutinitas pekerjaan yang puluhan tahun sudah dilakukannya. Bagaimana menghadapinya?

Ada awal, ada akhir. Begitu ungkapan yang sering didengar. Setiap pekerjaan, jabatan, posisi pasti ada batasan ruang dan waktu. Karenanya sering diingatkan, ketika seseorang menduduki suatu posisi apapun itu, maka bekerjalah dan berikan yang terbaik. Posisi bukan kekuasaan akan tetapi tanggung jawab.

Sesungguhnya sejak awal bekerja sudah harus disadari bahwa suatu saat akan berada dalam masa pensiun. Jelang masa pensiun, menurut Dra. Indrawahyuni Graito., MPsi, Psikolog, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, seseorang membutuhkan kesiapan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan 'dunia baru' yaitu lingkungan dan suasana pensiun.

Biasanya satu tahun sebelum pensiun ada Masa Persiapan Pensiun (MPP) atau kalau dalam organisasi masa akhir jabatan.

"Inilah saatnya berbagai persiapan dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan entah pembinaan rohani atau refleksi iman. Melalui berbagai bentuk pelatihan atau lokakarya untuk meluaskan wawasan, membangun kreativitas, menstimulasi keberanian berwirausaha. Yang pasti menguatkan ketahanan serta adaptasi memasuki suasana baru," papar psikolog yang akrab disapa Yanti ini.

Yanti menjelaskan, PPS (Post Power Syndrome) merupakan gejala-gejala psikologis pasca kekuasaan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya.

Sejumlah kehilangan dirasakan, mulai dari kehilangan fungsi eksekutif yaitu fungsi yang memberikan kebanggaan diri, terlebih kehilangan harga diri, kehormatan dan pengakuan terhadap dirinya, kehilangan kekuasaan atau kewenangan, kehilangan perasaan sebagai orang yang memiliki arti dalam kelompok tertentu.

Kehilangan orientasi kerja, bingung mau kerja apa, merasa sudah tidak berguna atau disisihkan, kehilangan sumber penghasilan dan kemudahan atau fasilitas terkait dengan jabatan terdahulu.

"Lumrah terjadi, yang menjadi penting seberapa 'parah' gejala psikologis dan perilaku yang ditampilkan," kata mantan staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.

Persiapan yang sama juga disampaikan oleh Wesmira Parastuti, M.Psi,dari Wesmira Consultant. Selain pemahaman siklus kehidupan itu, seseorang perlu menyiapkan aktualisasi diri baru dan rencana cadangan yang selama ini lebih banyak dihabiskan di rutinitas kerja, bisa berupa mengembangkan hobi, kegiatan produktif lain, mewujudkan ide bisnis, dan lainnya.

"Sebaiknya memiliki agenda finansial atau investasi jangka panjang sehingga jika terjadi penurunan pendapatan yang dialami setelah pensiun, tetap dapat disiasati," ujarnya.

Psikolog yang akrab disapa Mia ini menekankan, persiapan perlu dilakukan secepat mungkin. Bukan hanya beberapa tahun sebelum usia pensiun tiba, namun jika seorang dewasa yang kini sudah menggeluti aktivitas dan mencari pendapatan mandiri sudah bisa mempersiapkan sedini mungkin.

Pada dasarnya, lanjut Mia, suatu hal yang sudah biasa dilakukan kemudian tiba-tiba menghilang tentu membuat individu "kehilangan". Karenanya secara psikologis terjadi kebimbangan, khawatir dan lunturnya antusias hidup

Hal ini hanya akan terjadi pada individu yang tidak memiliki persiapan.

Kondisi serupa juga disampaikan oleh Yanti, "Seseorang yang akan memasuki masa pensiun umumnya merasa cemas, semangat kerja menurun atau sebaliknya bekerja keras mengejar target, konsentrasi tidak fokus, orientasi pada kepentingan diri,"

Problem yang lazim terjadi mengatasi masalah keuangan, yang tadinya mendapat penghasilan tetap dan mencukupi, saat pensiun pemasukannya sudah lebih kecil dan hilangnya kemudahan atau fasilitas.

"Hilangnya status sosial, harus belajar menjadi 'orang biasa', partisipan pendengar atau pengamat yang baik, intinya mengasah sikap bijaksana," ungkapnya.

Mia menambahkan, PPS bisa terjadi pada siapa saja, saat individu timbul perasaan tidak rela atau tidak siap melepaskan kejayaannya di masa lalu dan apa yang sudah diraihnya. Pada individu yang sudah sangat nyaman biasanya disertai dengan kedudukan yang memuaskannya, sangat mementingkan pengakuan dari lingkungan sosial atas prestasinya dan cenderung berkepribadian ambisius.

"Setelah pensiun dimana semua hal yang biasa didapatkan hilang, maka ia merasa terguncang, hidupnya tidak stabil. Muncullah kegelisahan, haus akan situasi masa lalu yang membuatnya terkena PPS," kata Mia.

Hal ini rentan terjadi pada individu yang ambisius, kaku, dan biasanya mendapat kepuasan diri dari faktor eksternal seperti merasa dihormati, dilayani dan mendapat pengakuan dari lingkungan sosial.

Yanti menimpali, PPS rentan terjadi pada individu yang tertutup (introvert),sulit menerima kenyataan, cara pandang tertutup atau mudah menyalahkan atau menyesali situasi diluar dirinya, seorang yang jati dirinya berada dibalik posisi atau kedudukan.

Mia mencatat gejala dini yang paling mudah dideteksi adalah perasaan cemas dan gelisah saat membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah pensiun.

Lebih rinci, Yanti menjabarkan gejala emosi seperti mudah tersinggung, pemurung, menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah. Juga gejala perilaku seperti pendiam, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan mudah terpicu menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.

Dan tentu saja gejala fisik, yaitu sibuk dengan kondisi fisik khususnya kesehatan atau apatis, tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah dan sakit-sakitan.

Mia menekankan, usia 40 tahun setiap individu sudah selayaknya lebih waspada proses hidupnya di masa datang dan mempersiapkan bekal. Konsultasi dengan ahli dapat dilakukan lima tahun menjelang pensiun dan intervensi dilakukan saat mendekati pensiun untuk mematangkan proses mental yang akan segera dihadapi.

Kedua pakar ini menyarankan langkah pencegahan yang bisa dilakukan dengan cara: mengajak atau mendorong untuk tetap bersosialisasi, turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial, dukungan untuk menekuni hobi yang mungkin dulunya tersisih karena kesibukan kerja, mengikuti secara aktif kegiatan keagamaan untuk mendapatkan pencerahan.

"Semangat keikhlasan dalam kondisi ini sangat penting. Perlu dibangun kesadaran bahwa pensiun bukan suatu akhir dalam hidup. Tetapi kondisi untuk memulai sesuatu yang baru," pesan Yanti.

Selain itu, keluarga atau anak mengambil alih peran memperhatikan orangtua yang sudah pensiun atau membangun kerja sama dan semangat kebersamaan menciptakan suatu aktivitas. Dengan mantan kolega, pandai-pandailah menempatkan diri.

"Kuatkan kesadaran dan keihklasan bahwa ada kesempatan untuk berkontribusi penuh dan ada pula waktunya untuk berhenti, pahami bahwa pensiun bukan akhir dari segalanya melainkan awal kehidupan untuk dapat tetap bekerja, pada lahan dan kegiatan yang berbeda, yang penting tetap dapat berbuat sesuatu bagi orang lain. Bisa dilihat sebagai 'the second carrier'", papar Yanti.

Mia mengingatkan, orang terdekat untuk lebih peka dan sebaiknya mampu mengakomodir dan mengarahkan pada kegiatan positif yang membuat hidupnya merasa berarti kembali.

"Sedini mungkin memiliki back up plan bisa berupa kegiatan produktif atau dalam rangka menyalurkan hobi. Semakin awal dirintis maka individu tidak akan terus hidup dalam satu sumber kepuasan yang dimilikinya, sehingga saat satu tali putus ada tali lain untuk "dipegang"", ungkapnya kemudian.

Dukungan dari keluarga penting untuk mengangkat kembali semangat hidup. Selanjutnya dorongan dan kemauan yang kuat dari individu sendiri yang akan menggerakkannya mencari hal bermakna bagi hidupnya.

"Hidup dengan rileks tanpa membebani diri sendiri, nikmati pencapaian yang sudah diraih, terus lakukan hal produktif dan bermanfaat, jangan terbelenggu dengan kesuksesan masa lalu," pungkasnya.


MPP dibutuhkan untuk mencegah dampak buruk yang bisa terjadi, di antaranya secara fisik terlihat penurunan stamina, lebih tua, daya imun berkurang sehingga lebih mudah sakit. Secara emosi lebih mudah tersinggung dan marah karena merasa kehilangan "daya" yang selama ini dimiliki. Secara perilaku biasanya terlihat kurang bersemangat dan menjadi lebih pemurung, bahkan lebih antusias membicarakan hal tentang masa lalu daripada yang dialami saat ini atau rencana masa depan.


Komentar